Sederet Fakta Dugaan Penistaan dan Walikota Siantar yang Tak Ngerti Adat Simalungun

Share this:
FERRY SIHOMBING-BMG
Massa etnis Simalungun berunjuk rasa di Kantor DPRD menuntut pemakzulan Walikota Siantar, beberapa waktu lalu.

Kemudian, pada 6 Juli 2018, panitia angket mengadakan rapat dengar pendapat dengan Walikota Siantar Hefriansyah. Hasilnya, Walikota Siantar Hefriansyah memang tidak mengetahui gambar rumah adat Simalungun dan pakaian adat Simalungun yang sebenarnya, tetapi tetap mencetak berupa brosur dan simbol-simbol Simalungun untuk dipublikasikan pada Acara Hari Jadi Kota Siantar. Padahal, sebelum dipublikasikan dan finalisasi brosur tersebut, etnis Simalungun dalam hal ini Partuha Maujana Simalungun telah menyurati Walikota Siantar namun diabaikan dan mencetak sesuai dengan kehendak Pemko Siantar.

Poin lainnya, walaupun sudah disurati oleh etnis Simalungun, atas kesalahan simbol yang telah dipublikasikan, tetapi Walikota Siantar tetap mengabaikan dan melakukan sesuai dengan keinginannya.

Walikota Siantar pun mengakui kesalahan atas penggunaan simbol-simbol Simalungun yang salah. Atas kesalahan tersebut, Walikota Siantar berjanji akan melakukan tindakan keras terhadap Fatimah Siregar.

Untuk diketahui, dalam menyelesaikan dugaan penistaan itu, panitia angket melakukan lima kali konsultasi, diantaranya ke DPRD Kabupaten Karo, Biro Otda Provsu, DPRD Kabupaten Garut, saksi ahli dan Biro Otda Kemendagri.

Menurut saksi ahli ilmu bahasa dari USU Medan Drs Baharuddin Purba, dari segi bahasa menyebutkan jika Walikota Siantar tidak pernah menista, yang ada hanya pengucilan atau diskriminasi terhadap etnis Simalungun karena tidak ada bahasa Pemko Siantar yang merusak etnis Simalungun. Diskriminasi ini berlangsung bila ada suatu peraturan yang menyudutkan satu pihak tertentu dan membuat pihak itu dikucilkan atau dilayani dengan tidak adil sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Masih menurut Drs Baharuddin Purba, dalam penggunaan kata pusaka, bukan merupakan penistaan karena kata pusaka artinya turun temurun. Dari segi perbuatan, bila dilihat dari brosur yang memuat simbol-simbol Simalungun yang dipublikasikan kepada umum sebelum difinalkan sudah ada keberatan berupa surat dari etnis Simalungun dalam hal ini pemangku adat Simalungun tetapi tetap diabaikan dan tetap dicetak sesuai kehendak Pemko Siantar, maka ini sudah termasuk penistaan, pelecehan, permusuhan, dan pencemaran terhadap etnis Simalungun.

Sementara itu, menurut saksi ahli ilmu hukum pidana dari USU Medan Dr Muhammad Hamdan SH MH, Pemko Siantar dalam membuat dan memakai simbol-simbol Simalungun dan telah dipertontonkan pada masyarakat luas pada acara peringatan Hari Jadi Kota Siantar adalah tidak dapat dikatakan atau dikategorikan unsur perbuatan pidana.

Perbuatan Pemko Siantar terhadap pembuatan dan pemakaian simbol-simbol Simalungun yang salah dan telah mempertontonkan pada masyarakat luas adalah pengucilan dan pengucilan tersebut termasuk hukum pidana.

Sehingga, Muhammad Hamdan berpendapat bahwa dari latar belakang proses pembuatan brosur dan pemakaian simbol-simbol Simalungun yang tidak sesuai maka dikategorikan sebagai penghinaan yang unsur-unsurnya terdapat pada Pasal 157 Ayat 1 KUHPidana.

(Baca: Penistaan Simalungun: DPRD, Gubsu, Mendagri dan Presiden akan Disurati untuk Pemakzulan Walikota)

Selanjutnya, menurut saksi ahli ilmu sosial dan Antropologi Budaya Unimed Medan DR Eron Damanik MSi, Pemko Siantar yang telah membuat dan memakai simbol-simbol Simalungun yang salah dan telah dipertontonkan pada masyarakat pada peringatan Hari Jadi Kota Siantar belum dapat dikatakan penistaan, akan tetapi merupakan suatu pengerdilan atau pengabaian.

(Baca: 25 Mei, DPRD Bahas Dugaan Penistaan Etnis Simalungun oleh Walikota Siantar)

Acara peringatan Hari Jadi tersebut merupakan kerja adat yang mengharuskan Marharoan Bolon dan melibatkan etnis Simalungun dalam hal ini Partuha Maujana Simalungun.

Dari latar belakang proses pembuatan brosur dan pemakaian simbol-simbol Simalungun yang tidak sesuai dikategorikan termasuk penghinaan sesuai dengan unsur-unsur yang terdapat pada Pasal 157 Ayat 1 KUHPidana.

(Baca: Dugaan Penistaan Etnis Simalungun oleh Walikota Siantar, Panitia Angket Pun Terbentuk)

Dan berdasarkan hasil rapat dengar pendapat dan konsultasi yang dilakukan, panitia angket menyimpulkan bahwa Walikota Siantar melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, melanggar Pasal 157 dan Pasal 310 ayat 2 KUHPidana, tidak melaksanakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan tidak melaksanakan sumpah jabatan yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota.

Share this: