Sederet Fakta Dugaan Penistaan dan Walikota Siantar yang Tak Ngerti Adat Simalungun

Share this:
FERRY SIHOMBING-BMG
Massa etnis Simalungun berunjuk rasa di Kantor DPRD menuntut pemakzulan Walikota Siantar, beberapa waktu lalu.

SIANTAR, BENTENGTIMES.com– Sejumlah fakta dugaan penistaan etnis Simalungun oleh Walikota Siantar Hefriansyah, terungkap. Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPRD Siantar sudah menyimpulkan temuan-temuan mereka dan akan dibacakan mendatang pada rapat paripurna pada Senin (20/8/2018).

Berdasarkan informasi diperoleh BENTENGTIMES.com, berikut fakta-fakta yang ditemukan Panitia Angket DPRD Siantar. Pada Kamis 28 Juni 2018 silam, panitia angket melaksanakan rapat dengar pendapat dengan berbagai lembaga etnis Simalungun, di antaranya Partuha Maujana Simalungun (PMS), Harungguan Sinaga Boru Panogolan (HSBP), Presidium Sapangambei Manoktok Hitei Siantar (PSMHS), dan Ihutan Bolon Siantar.

Kepada panitia angket, elemen masyarakat budaya Simalungun tersebut menyampaikan bahwa Pemko Siantar telah membuat brosur yang memuat gambar rumah adat Simalungun dikelilingi orang-orang memakai pakaian adat tapi tidak satu pun mengenakan pakaian adat Simalungun, dengan judul ‘Siantar Kota Pusaka’.

Oleh Pemko Siantar kemudian brosur itu diperbaiki dengan menampilkan gambar orang dengan busana Simalungun tapi tetap dipersoalkan karena pertama bahwa penggunaan thema ‘Siantar Kota Pusaka’ sehingga muncul anggapan bahwa Pemko Siantar dalam hal ini Walikota Siantar Hefriansyah telah menganggap bahwa etnis Simalungun sebagai sipukkah huta (suku asli Kota Pematangsiantar) tinggal kenangan. Apalagi gambar rumah adat Simalungun yang tercetak dalam brosur itu adalah Uttei Jungga, rumah adat Simalungun yang keberadaannya di Purba dan sudah terbakar.

(Baca: Tiada Maaf Untuk Walikota Siantar)

Bahwa etnis Simalungun dalam hal ini Partuha Maujana Simalungun sebagai pemangku adat sudah menyurati Pemko Siantar sebelum finalisasi dari brosur tersebut tetapi diabaikan dan tetap mencetak sesuai dengan versi Pemko Siantar. Atas sikap Walikota Siantar tersebut, etnis Simalungun merasa dilecehkan. Apalagi brosur itu telah dipertontonkan kepada masyarakat luas pada acara Hari Jadi ke-147 Kota Siantar dan pada Acara Pekan Raya Sumatera Utara di Medan.

Brosur Hari Jadi Kota ke-147 Siantar Tahun 2018, sebelum direvisi.

Brosur Hari Jadi Kota ke-147 Siantar Tahun 2018, setelah direvisi.

(Baca: Tuntutan Warga Etnis Simalungun Didukung Himpunan Masyarakat Batak Toba)

Kemudian, Pemko Siantar tidak ada niat baik untuk duduk bersama ataupun mengundang Partuha Maujana Simalungun untuk menyelesaikan bersama masalah yang terjadi. Etnis Simalungun, terutama yang berada di Kota Siantar tidak setuju Kota Siantar dijuluki sebagai kota pusaka, karena menurut etnis Simalungun, kota pusaka itu berarti Simalungun hanya tinggal kenangan.

Share this: