Pers dan Refleksi Kemerdekaan

Share this:
BMG
Hendry CH Bangun, Wakil Ketua Dewan Pers.

Ketika Orde Baru berkuasa dan saluran aspirasi macet, banyak media di Indonesia yang memuat berita tentang praktik demokrasi di negara lain. Selain memberi harapan pada masyarakat yang tidak berdaya, berita itu sekaligus menyindir kekuasaan agar memberi kelonggaran pada warganya.

Pertanyaannya sekarang, apakah wartawan kita memiliki kompetensi untuk membuat berita yang ‘solutif’, berita yang berempati terhadap penderitaan masyarakatnya, berita yang membuat pembacanya lega dan optimistis?

Apakah wartawan masih membaca buku-buku di kepustakaan atau membaca hati masyarakat dengan sering terjun ke lapangan dan mendengar apa yang mereka keluhkan dan harapkan?

Hanya wartawan dari media tertentu yang masih melakukannya. Wartawan pada umumnya makin malas membaca dan turun ke lapangan.

Undang-Undang Pers, Kode Etik Jurnalistik dan turunannya saja mungkin hanya sekali dibaca, yakni sewaktu ikut uji kompetensi.

Apalagi buku-buku pengetahuan untuk mendukung tugas jurnalistiknya. Paling juga googling, atau bertanya, yang berakibat pemahaman tentang suatu hal hanya di permukaan saja.

Baca10 Tokoh Tempo 2008

BacaKegilaan Rusdi Kirana Terobos Vacuum Cleaner

Ke lapangan menjadi sesuatu yang langka, kecuali kalau ke kantor humas dianggap lapangan. Press release dari humas pun kini sudah dikirimkan via emal, atau WA, jadi wartawan tinggal menyalinnya—kadang masih dengan judul yang sama—lalu menurunkan berita itu dengan mencantumkan namanya.

Bersambung ke halaman 6..

Share this: