Pers dan Refleksi Kemerdekaan

Share this:
BMG
Hendry CH Bangun, Wakil Ketua Dewan Pers.

Sementara di Indonesia, kebanyakan fokus mengggambarkan penderitaan. Orang yang sedang kesusahan, yang sengsara, kesulitan ini itu, kehancuran bangunan, rumah ibadah, dengan narasi mendayu-dayu.

Lalu, di televisi, seperti biasa, terdengarlah lagu Ebie G Ade, Berita Kepada Kawan..” mungkin Tuhan mulai bosan//melihat tingkah kita//yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa//…” sebagai pengiring.

Orientasinya menceritakan kesedihan, bukan semangat untuk bangkit, berjiwa tegar menghadapi musibah, dst.

Dalam survei atas berita Covid di media siber pada bulan Maret 2020 sampai 2021, diadakan Dewan Pers bersama London School of Public Relation, ditemukan bahwa hanya 20,2% berita yang memenuhi kaidah jurnalisme bencana dan bernada empati dari 1.000 berita yang diteliti.

Sekitar 78,9% berita ditulis biasa, datar-datar saja. Tanpa keprihatinan sebagai anak bangsa, sebagai bagian dari masyarakat yang sedang menderita.

Hanya 27,1 % berita yang memberikan harapan, dan hanya 29,3% berita yang menjadikan pandemi Covid-19 sebagai pembelajaran, yang akan menjadi introspeksi bagi kita sebagai bangsa.

BacaPCR Berbayar: Ada Istilah Silver, Gold, Platinum Bikin Mafia Kesehatan Untung Besar

BacaAndaliman, Merica Batak yang Menggetarkan Lidah

Maka kalau ada yang mengatakan bahwa isi kepala banyak wartawan kita tidak memiliki kesadaran etis, ideologi, dan wawasan kebangsaan, bisa jadi ada benarnya. Gejala ini menakutkan karena ketika nanti teknologi sudah maju, mereka akan mudah digantikan robot-robot penulis, yang sudah diajari menulis, mendeskripsikan, memasukkan angka-angka.

Bersambung ke halaman 4..

Share this: