Dosen di Arab Saudi: Impor Budaya Arab Memicu Intoleransi

Share this:
Profesor Sumanto Al Qurtuby

JAKARTA, BENTENGTIMES.com – Antropolog dari King Fahd University for Petroleum and Minerals Arab Saudi Sumanto Al Qurtuby mengatakan bahwa intoleransi tumbuh subur di Indonesia karena beberapa hal.

Pertama, umat Islam cenderung tidak bisa membedakan antara Islam sebagai sebuah ajaran normatif dengan Islam sebagai manifestasi kebudayaan dan produk politik kekuasaan.

(BACA: Islam Harus Menjadi Perekat Segala Perbedaan)

Menurut Sumanto, umat Islam di Indonesia sebaiknya memisahkan Islam sebagai ajaran agama dengan politik kekuasaan dan kebudayaan dari luar, khususnya Arab. Budaya ini, kata dia, belum tentu sesuai dengan konteks di Indonesia.

“Produk-produk sosial budaya dari Arab jangan diimpor ke sini, sebab itu bisa menimbulkan pertentangan di masyarakat,” kata Sumanto dalam seminar yang diadakan Lingkar Perempuan Nusantara berjudul “Islam Rahmatan Lil Alamin: Antara Ajaran dan Budaya” di Jakarta, Kamis (5/7/2018).

(BACA: Buya Syafi’i Maarif: Membangun Islam Indonesia dengan Toleransi)

“Contohnya, soal cadar yang belakangan marak digunakan perempuan Indonesia,” imbuhnya.

Sumanto memaparkan bahwa umat Islam di Indonesia saat ini cenderung menyerap budaya Arab dan anti-Barat. Padahal, kata dia, Arab justru kini banyak yang menyerap budaya Barat. Negara-negara Arab, khususnya di Teluk, pro Amerika.

Hampir semua produk Barat seperti restoran cepat saji dan produk mahal dan bermerk Barat ada di mal-mal megah kawasan Teluk. Warga Arab juga menjadi konsumen setia karena dikenal hobi belanja.

Sumanto menjelaskan, di Timur Tengah sedang gencar modernisasi Islam sebagai kekuatan jalan tengah atau moderat, bukan Islam yang radikal maupun ultra liberal.

“Seharusnya Islam moderat ini ditiru umat Islam di Indonesia. Akan tetapi yang terjadi di Indonesia, di satu sisi umat Islam menjadi kelompok yang ekstrem, radikal, intoleran dan tidak menghargai keberagaman dan kebhinnekaan,” tuturnya.

Ketua Lingkar Perempuan Nusantara Cherly Sriwidjaja mengatakan, pengaruh ajaran keagamaan garis keras dapat menimbulkan penyimpangan dalam pola pikir masyarakat. Hal tersebut menjadi dasar tumbuhnya intoleransi di tengah masyarakat.

“Ajaran-ajaran yang disusupi oleh paham-paham kekerasan dan bibit-bibit radikalisme telah meresahkan dan mengganggu kestabilan situasi dalam negeri, terutama di bidang politik, hukum dan keamanan,” katanya.

Share this: