Kisah Anton Medan: Tak Diterima Keluarga, Merantau, Jadi Preman Hingga Akhirnya Mualaf

Share this:
Anton Medan

JAKARTA, BENTENGTIMES.com – Perjalanan panjang dari seorang Anton Medan akhirnya berakhir pada Senin (15/3/2021). Berawal dari seorang anak jalanan, dia kemudian menjadi bandar besar, hingga akhirnya mualaf dan mendirikan masjid dan pondok pesantren.

Anton Medan dikenal sebagai preman kelas kakap yang sudah bolak-balik mendekam di penjara. Perjalanan kriminal Anton Medan dimulai sejak usianya masih 12 tahun, kala berada di Tebing Tinggi. Saat itu, pemilik nama kecil Tan Hok Liang ini sudah menjadi tulang punggung keluarga dan harus putus sekolah.

Baca: Anggota DPRD Medan Sosok Preman Berhati Dermawan Itu Telah Berpulang

Baca: IPK Organisasi Karya Kekaryaan, Bukan Organisasi Premanisme

Anton Medan menjadi anak jalanan yang bekerja sebagai calo di Terminal Tebing Tinggi, membantu sopir bus untuk mencari penumpang. Namun, suatu hari Anton terlibat masalah dengan salah satu sopir karena tak mendapatkan upah kerja yang semestinya. Singkat cerita, Anton memukul sopir itu dan membuatnya harus berurusan dengan polisi untuk pertama kalinya.

Kejadian serupa kembali terjadi saat kembali pulang ke Kota Medan. Anton kembali terlibat perkelahian dengan sopir bus dan saat itu ia dipukuli. Anton pun membalas dengan sabetan parang hingga membuat satu sopir tewas. Akibat kejadian itu, Anton harus mendekam di penjara selama empat tahun.

Usai menjalani hukuman di penjara, Anton Medan kembali ke rumah, namun ia tidak diterima oleh orangtuanya karena malu memiliki anak yang pernah masuk penjara.

Baca: Pos TNI Puncak Jaya Diserang Kelompok Kriminal Bersenjata, 7 Anggota TNI Tertembak

Baca: Sudjiatmi Notomihardjo, Sosok Tangguh di Balik Karir Politik Presiden Jokowi

Anton pun akhirnya merantau ke Jakarta, berniat menemui pamannya. Dia harus menggelandang di Jakarta demi menemukan alamat pamannya. Namun, usai berhasil bertemu, sang paman bahkan tidak mau menerima Anton. Sejak saat itulah Anton Medan hidup sebatang kara di tengah kerasnya kehidupan ibu kota.

Bersambung ke halaman 2…

Share this: