Hari Ini 20 Tahun Silam: Ketika Sang Diktator Bertekuk Lutut

Share this:
Soeharto ketika membacakan pengunduran diri pada 21 Mei 1998 di Istana Negara.

Penolakan terhadap Komite Reformasi ini pun bukan hanya muncul dari para tokoh, tapi juga mahasiswa. Bagi mereka, pernyataan Soeharto itu seolah membumbung ke langit dan hilang tanpa arti, hampa. Sebab, mahasiswa hanya menunggu pernyataan pengunduran diri Soeharto, bukan pembentukan Komite Reformasi.

Yusril mengklaim, bersama Saadilah, dirinya dipercaya Soeharto untuk merealisasikan pembentukan Komite Reformasi. Sekitar 45 nama diajak bergabung ke dalam Komite Reformasi. Namun, hanya tiga yang bersedia.

Senada, rencana pembentukan Kabinet Reformasi pun kandas. Sebanyak 14 Menteri anggota Kabinet Pembangunan VII, yang merupakan orang-orang dekat Soeharto, menolak untuk masuk kabinet itu.

Mereka adalah Akbar Tandjung, A.M. Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno Hadihardjono, Haryanto Dhanutirto, Justika S. Baharsjah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Sanyoto Sastrowardoyo, Subiakto Tjakrawerdaya, Sumahadi, Tanri Abeng dan Theo L. Sambuaga.

Soeharto sendiri baru mendengar kabar penolakan 14 menteri pada Kabinet Reformasi pada 20 Mei malam, lewat sebuah surat yang dititipkan Akbar Tanjung pada Yusril. Berdasarkan keterangan Yusril, surat itulah yang kemudian menjadi dorongan final bagi Soeharto untuk keesokan harinya.

Dalam ketergesaan itulah Indonesia melangkah ke fase selanjutnya, yaitu reformasi. Proses pengunduran Soeharto pun disiapkan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, tanpa dilakukan di hadapan DPR/MPR karena situasi Jakarta yang tidak memungkinkan digelarnya sidang.

Sejarah mencatat pada Kamis 21 Mei 1998, sekitar pukul 09.00 WIB, Soeharto resmi meletakkan jabatan dan digantikan oleh BJ Habibie. Tanpa transisi, tanpa Komite Reformasi.

Sorak sorai pun menggelora dari dalam gedung DPR/MPR, kampus-kampus dan berbagai pelosok masyarakat. Tawa senang para tahanan politik juga terdengar dari dalam LP Cipinang, menyambut berakhirnya era 32 tahun diktator.

Reformasi yang Belum Tuntas

Kejatuhan Soeharto ini membawa angin segar bagi demokrasi Indonesia. Keran-keran aspirasi politik yang semula dikendalikan oleh pusat, kemudian mulai dibuka di semua level.

Presiden Habibie segera mengeluarkan serangkaian kebijakan peruahan untuk memenuhi harapan reformasi. Ia menegaskan akan ada pemilihan umum sesegera mungkin dan keputusan ini kemudian disetujui secara formal melalui Sidang Istimewa MPR RI. Ia juga mengeluarkan peraturan yang secara efektif mencabut UU politik yang represif.

Namun ini juga berarti belum redanya kegaduhan dan kekacauan di masyarakat. Berbagai aksi pun tetap berlanjut menentang pemerintah, dwifungsi ABRI, penguasa lokal dan perusahaan-perusahaan di semua tingkatan.

Bahkan setingkat kepala desa yang terindikasi korupsi pun tak lepas dari tuntutan pengunduran diri dari warganya. Hingga November 1998, atau ketika Sidang Istimewa MPR RI digelar, mobilisasi massa kerap terjadi di berbagai daerah di Indonesia.

Selain tuntutan terhadap pergantian kekuasaan dan pembersihan pengelolaan negara dari KKN, satu pekerjaan reformasi yang belum tuntas hingga saat ini adalah tindakan konkret terhadap lingkaran dalam Orde Baru yang dituduh korupsi dan melanggar hak-hak asasi manusia.

Pada 2004, lembaga Transparency International mengeluarkan Global Corruption Report dan menempatkan Soeharto sebagai pemimpin terkorup di dunia. Dugaan nilai korupsinya mencapai US$15-35 miliar. Jumlah itu didasarkan data penggelapan dana publik.

Ia mengalahkan diktator lainnya, seperti eks Presiden Filipina Ferdinand Marcos dengan nilai dugaan korupsi US$5-10 miliar, dan Presiden Yugoslavia Slobodan Milosevic dengan nilai mencapai US$1 miliar.

Pada Juli 2015, pengadilan perdata telah memutuskan Yayasan Beasiswa Supersemar wajib mengembalikan US$315 juta dan Rp139,43 miliar, atau total sekitar Rp4,4 triliun pada negara. Dari jumlah itu, baru Rp241,8 miliar dikembalikan pada negara.

Share this: