Hari Ini 20 Tahun Silam: Ketika Sang Diktator Bertekuk Lutut

Share this:
Soeharto ketika membacakan pengunduran diri pada 21 Mei 1998 di Istana Negara.

Hal ini dikarenakan cengkraman Soeharto pada sendi-sendi masyarakat melalui politik massa mengambang semakin melemah.

Pada pemerintahannya, Soeharto memang tak ragu membungkam mereka-mereka yang berseberangan dengannya dan kemudian dilabeli ‘anti pembangunan’.

LP Cipinang merupakan simbol tangan besi Soeharto. Tempat itu berfungsi sebagai ‘penampung akhir’ para penentangnya. Di antaranya, Xanana Gusmao, yang kini menjabat Presiden Timor Leste; aktivis Sri Bintang Pamungkas, aktivis Mochtar Pakpahan, hingga para aktivis PRD seperti Budiman Sudjatmiko.

Namun seiring dengan letupan berbagai demonstrasi di banyak kota di Indonesia dan meningkatnya kesadaran politik, suara-suara yang menentang Soeharto pun semakin sukar dibungkam.

Dikutip dari “Bangsa yang Belum Selesai” karya Max Lane, sejak pemilu 1997 digelar pada Mei hingga akhir 1997, terjadi 110 aksi protes mahasiswa di berbagai kota. Jumlah ini lebih banyak ketimbang yang terjadi pada 1996.

Isu-isu yang digelorakan dalam aksi protes itu mencakup menentang kekerasan tentara, dwi-fungsi ABRI, kemandulan legislatif, kekerasan oleh geng Golkar, hingga budaya korupsi, kolusi dan nepotisme yang mengakar di berbagai instansi pemerintah.

Memasuki Januari 1998, aksi-aksi protes mahasiswa itu semakin meledak. Dilaporkan, terjadi 850 aksi sejak Januari hingga akhir Mei tahun itu, dengan agenda yang telah terfokus: menurunkan Soeharto.

Bentrokan antara mahasiswa dengan tentara pun makin sering terjadi, mulai dari Solo, pendudukan kampus Universitas Gajah Mada oleh tentara, hingga ricuh di Universitas Sumatera Utara.

Ketika Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada 2 Mei datang, demonstrasi yang melibatkan ribuan mahasiswa terjadi di hampir semua kota dalam negeri, mulai dari Aceh hingga Jayapura. Aksi-aksi ini kemudian bereskalasi hingga mencapai puncaknya berupa pendudukan gedung DPR/MPR pada 19 Mei.

Tiga hari sebelum pendudukan tersebut, Ketua DPR/MPR yang juga pernah menjadi Menteri Penerangan Harmoko juga menyuarakan agar Soeharto mundur. Ia bertemu dengan sang Presiden di Cendana membicarakan kondisi Indonesia dan desakan rakyat agar Soeharto mundur. Harmoko bahkan sempat menanyakan langsung kepada Soeharto soal aspirasi rakyat yang meminta dirinya mundur.

“Ya, itu terserah DPR. Kalau pimpinan DPR/MPR menghendaki, ya saya mundur, namun memang tidak ringan mengatasi masalah ini,” jawab Soeharto, dalam buku “Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi” yang ditulis BJ Habibie.

Dua hari kemudian, Harmoko, yang sebelumnya sangat setia kepada Soeharto di hadapan media menyatakan bahwa semua fraksi di DPR, termasuk fraksi Angkatan Bersenjata, telah setuju untuk meminta Presiden mengundurkan diri.

“Dalam menanggapi situasi seperti tersebut di atas, pimpinan dewan, baik ketua maupun wakil-wakil ketua mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri,” kata Harmoko, pada 18 Mei 1998, merespons tuntutan para mahasiswa itu.

Ketika itu, ia didampingi pimpinan parlemen lainnya, yaitu Ismail Hasan Metareum, Abdul Gafur, Fatimah Achmad, dan Syarwan Hamid.

Ironisnya, baru beberapa bulan sebelumnya, Harmoko yang bekas Ketua Umum Partai Golkar itu mengatakan kepada Soeharto bahwa berdasarkan hasil safari Ramadan ke sejumlah daerah, rakyat menganggap tidak ada tokoh lain yang dapat memimpin negara kecuali Soeharto.

Ditinggal 14 Menteri

Pada pertemuan dengan Cak Nur dan Saadilah Mursyid, 18 Mei malam, Soeharto berjanji akan mengundurkan diri dalam waktu dekat. Namun, sebelum menanggalkan jabatan, dia ingin bertemu dengan tokoh-tokoh masyarakat.

Mereka antara lain Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Ahmad Bagja, Ali Yafie, Anwar Harjono, Emha Ainun Nadjib, Ilyas Rukhiyat, Ma’ruf Amin, Malik Fadjar, Soetrisno Muhdam. Selain kesembilan orang itu, Saadilah juga ingin Cak Nur turut ikut. Cak Nur pun ingin mengajak satu orang lagi, yakni Yusril Ihza Mahendra karena merupakan ahli hukum tata negara.

Yusril Ihza Mahendra yang saat itu menjadi anak buah Saadilah Mursyid dan punya kedekatan dengan Soeharto menjelaskan bahwa orang nomor satu di Indonesia sebetulnya memang sudah siap mundur. Namun, kata Yusril, Soeharto cemas kekacauan bakal terjadi jika dirinya mengundurkan diri saat itu juga.

Karena itulah Soeharto ingin membentuk semacam tim transisi yang dinamai Komite Reformasi dan bertugas mendampinginya dalam memulihkan kondisi sosial ekonomi Indonesia.

‘Wali Songo’ sebetulnya tidak setuju dengan ide Komite Reformasi. Terjadi tarik menarik pendapat yang cukup alot. Hingga kemudian, Cak Nur meminta Soeharto agar tidak mengikutsertakan seluruh tamu yang diundang itu menjadi anggota Komite Reformasi. Soeharto sedikit kaget.

Cak Nur lalu menjelaskan bahwa kehadiran sembilan tokoh Islam ke Istana berada dalam posisi dicurigai masyarakat. Sebab, para tokoh ini sebelumnya dikenal kritis terhadap Soeharto selama krisis mulai melanda. Jika setuju menjadi bagian Komite Reformasi, lanjutnya, masyarakat dipastikan mencap mereka sebagai penjilat kelas kakap dan antek-antek Cendana.

“Kalau nanti Pak Harto memasukkan kami dalam komite atau pun kabinet yang di-reshuffle, kami menjadi seperti rupiah, kurs kami jatuh,” tutur Cak Nur mengutip biografi Nurcholish Madjid “Api Islam, Jalan Hidup Seorang Visioner” (2010:277).

Share this: