Hari Ini 20 Tahun Silam: Ketika Sang Diktator Bertekuk Lutut

Share this:
Soeharto ketika membacakan pengunduran diri pada 21 Mei 1998 di Istana Negara.

JAKARTA, BENTENGTIMES.com – “Reformasi itu apa sih, Cak Nur?” ujar Soeharto pada suatu pertemuan kecil dengan Nurcholis Madjid dan mantan Menteri Sekretariat Negara Saadilah Mursyid pada 18 Mei 1998.

Malam itu ketiganya bertemu di rumah pribadi Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta, seperti dikisahkan biografi Nurcholis Majid “Api Islam, Jalan Hidup Seorang Visioner” karya Ahmad Gaus AF.

Di luar gerbang rumah yang identik dengan keluarga Soeharto itu, kekalutan menjalar nyaris di setiap jengkal Jakarta dan daerah-daerah sekitar. Asap hitam dari toko-toko yang dijarah dan kemudian dibakar jadi pemandangan banal warga ibu kota.

Kerusuhan itu membabat 13 pasar, 40 pusat perbelanjaan, dan ribuan toko, bengkel, restoran, hotel atau ruko. Kantor-kantor bank pun tak luput dari sasaran amuk massa dengan 65 di antaranya dirusak. Demikian pula dengan ribuan mobil, motor, rumah penduduk serta tempat peribadatan seperti gereja yang kerap dijadikan pelampiasan kecemasan massa. Di kemudian hari, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso memperkirakan total kerugian mencapai Rp2,5 triliun.

Api kemarahan pun menembus tembok-tembok kampus yang selama puluhan tahun sebelumnya coba disterilkan Soeharto dari diskusi politik praktis. Empat mahasiswa Trisakti yang diduga tewas diberondong peluru tentara ketika berdemonstrasi pada 13 Mei 1998 tak membuat mereka gentar untuk kembali turun ke jalan.

Gedung DPR/MPR pun diterobos masuk dan diduduki. Bahkan hingga ke atap. Seluruh simbol-simbol kekuasaan yang selama beberapa dekade tak tersentuh kini seolah jadi panggung massa memprotes Sang Jenderal.

“Reformasi!”

“Reformasi!”

“Soeharto mundur!”

Tuntutan ini juga yang coba didorong Cak Nur lewat sebuah tulisan di halaman pertama suatu koran nasional. Dengan tegas ia meminta Soeharto dari tampuk kepemimpinan setelah 32 tahun berkuasa. Dia juga menuntut Soeharto dan keluarganya harus mengembalikan kekayaan pada negara pada tulisan berjudul “Harus Berakhir dengan Baik”.

Di hadapan sosok yang dijuluki Bapak Pembangunan itu, dalam pertemuan di Cendana pada 18 Mei malam, Cak Nur pun tak segan mengungkapkannya langsung. “Reformasi itu artinya Pak Harto turun,” ujar Cak Nur.

Krisis Multidimensi

Soeharto bukan tidak paham kegentingan di sekitarnya. Sejak pulang dari mengikuti KTT di Kairo, Mesir, ia memutuskan berkantor di Cendana ketimbang Istana Negara. Dari sanalah ia dan para menteri coba memadamkan api krisis multidimensi yang terjadi di seluruh lapisan masyarakat, yang berawal dari runtuhnya perekonomian.

Pada awal tahun itu, Indonesia yang lima tahun sebelumnya mendapat julukan ‘Macan Asia yang Baru Terbangun’ dan diberi predikat ‘Keajaiban Asia’ oleh Bank Dunia, justru bertekuk lutut di hadapan badai krisis finansial. Euforia ketangguhan ekonomi Indonesia pun seketika meredup.

Bermula dari kondisi ekonomi Thailand yang tidak sehat dengan utang valas korporasi swasta membengkak seiring penguatan dolar AS pada 1997. Akibatnya neraca transaksi berjalan Negeri Gajah Putih mengalami defisit.

Pada Juli 1997, penguatan dolar AS menyebabkan nilai tukar rupiah ikut bergejolak. Padahal menurut statistik, sejak 1990-1996, nilai tukar rupiah stabil di level Rp1.901-Rp2.383 per dolar AS. Ini kemudian memicu inflasi yang semakin meroket dan kelangkaan sembako.

Soeharto juga menyadari bahwa hari-harinya sebagai Presiden berpotensi berakhir jika rupiah tidak bisa dikendalikan.

Upaya meredam krisis ekonomi itu kemudian dimulai pada Oktober 1998 dengan datangnya program paket bantuan senilai US$43 miliar dari IMF. Soeharto sepakat menjadikan Indonesia pasien IMF dengan menuruti syarat-syarat mereka untuk mengatasi krisis ekonomi, salah satunya dengan menutup 16 bank swasta yang dianggap bermasalah.

Namun apa lacur, resep yang diberikan IMF itu malah memperparah krisis. Rupiah kian anjlok, barang-barang semakin sulit didapatkan, dan inflasi pun makin membubung tinggi. Antrean mengular –baik masyarakat yang coba menarik keluar uang dari bank atau sekadar membeli minyak goreng– jadi pemandangan yang lazim ditemui.

Jika krisis ekonomi menjadi bahan bakar terjadinya kerusuhan dan kekacauan di masyarakat, maka api pemantiknya adalah krisis politik yang sudah bermula sejak beberapa tahun sebelumnya.

Share this: