Benteng Times

Konspirasi Birokrat dan Kontraktor di Sumut: BTT Digeser ke Proyek Infrastruktur Tidak Mendesak

Kolase foto: Gubernur Bobby Nasution. (ka-ki) Pengamat Anggaran, Elfenda Ananda, akedimisi, Farid Wajdi, hadir sebagai pembicara pada FGD Suluh Muda Inspirasi, bertempat di Sekretariat SMI, Medan, Senin (6/10/2025).

MEDAN, BENTENGTIMES.com– Berdasarkan catatan Perkumpulan Suluh Muda Inspirasi (SMI) sepanjang Tahun Anggaran 2025, terjadi enam kali pergeseran dan penyesuaian anggaran yang dilakukan dalam waktu singkat dan tanpa pola prioritas yang jelas pada APBD Provinsi Sumatera Utara. Fenomena yang kemudian mencuat ke permukaan setelah KPK melakukan OTT terhadap Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Provinsi Sumatera Utara, Topan Ginting, atas dugaan penerimaan fee proyek sebesar 4% dari rekanan kontraktor.

Dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Perkumpulan Suluh Muda Inspirasi (SMI), pada Senin, 6 Oktober 2025, menganalisis hubungan antara dinamika pergeseran anggaran dan dugaan praktik korupsi struktural di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, serta menilai kembali fungsi pengawasan DPRD, peran TAPD, dan akuntabilitas Gubernur dalam kebijakan keuangan daerah.

Sekretariat Nasional FITRA, Siska Barimbing yang hadir sebagai narasumber dalam FGD itu menjelaskan, pergeseran anggaran dalam struktur APBD pada dasarnya diatur dan diperbolehkan berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dan Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah.

Namun, pergeseran anggaran hanya dapat dilakukan apabila terjadi perubahan keadaan yang menyebabkan pergeseran antar program, antar kegiatan, antar jenis belanja, atau antar SKPD, yang disertai persetujuan TAPD dan pemberitahuan kepada DPRD.

Badan Pendiri SMI, Elfenda Ananda mengungkapkan, secara rinci kronologi enam kali pergeseran anggaran APBD 2025 yang dilakukan tanpa konsistensi kebijakan pembangunan, dengan menyoroti anomali waktu pelaksanaan pergeseran yang dalam beberapa kasus dilakukan dalam hitungan hari.

Sementara, menurut sistematika regulasi, masih kata Elfenda, setiap pergeseran seharusnya melalui tahapan, yakni evaluasi usulan SKPD, pembahasan TAPD, pengesahan Gubernur, dan pemberitahuan resmi kepada DPRD.

Oleh sebab itu, Elfenda menegaskan bahwa pola pergeseran semacam ini tidak mungkin terjadi tanpa restu dari kepala daerah. Dia menduga regulasi Permendagri tentang efisiensi dan Permendagri keadaan darurat sejak pandemi Covid-19 dijadikan celah untuk mengalihkan dana dari pos Belanja Tidak Terduga (BTT) ke proyek infrastruktur yang tidak mendesak.

BacaBupati Meranti yang Sebut Kemenkeu Sarang Iblis itu, Kena OTT KPK

Kemudian, dia mengatakan, praktik pergeseran anggaran yang tidak transparan merupakan gejala korupsi sistemik dalam tata kelola daerah, termasuk dugaan bahwa proyek pembangunan seringkali muncul terlebih dahulu sebelum perencanaan formal dilakukan, menandakan adanya pola reverse budgeting– perencanaan disusun untuk menyesuaikan proyek yang sudah ditetapkan secara politis.

“Penyalahgunaan pos BTT untuk proyek jalan dan jembatan memperlihatkan manipulasi konseptual terhadap makna ‘keadaan darurat’ dalam keuangan daerah, dan menilai bahwa pola ini menunjukkan konspirasi birokrasi dan kontraktor yang difasilitasi oleh kelonggaran pengawasan DPRD,” kata Elfenda, yang juga Pengamat Anggaran ini di Sekretariat SMI, Medan.

Halaman Selanjutnya >>>

Sementara itu, Dekan FH UMSU, Farid Wajdi menekankan dimensi hukum dan kewenangan yudisial dalam membongkar praktik korupsi semacam ini. Dia menyatakan bahwa kewenangan hakim dalam perkara korupsi bersifat substantif, tidak hanya terbatas pada kelengkapan administratif seperti dokumen SK Gubernur atau DPA-SKPD.

Menurut Farid, hakim berwenang menelusuri motif, jaringan, dan hubungan politis antara pengambil kebijakan dan pelaksana proyek.

“Oleh karena itu, permintaan majelis hakim agar Gubernur Sumatera Utara dihadirkan sebagai saksi adalah langkah penting dalam menembus batas formalisme birokrasi menuju pembuktian substantif,” ujar mantan Komisioner Komisi Yudisial ini.

Farid juga menyoroti kemungkinan dihadirkannya DPRD sebagai saksi, mengingat lembaga tersebut memiliki fungsi budgeting dan oversight sebagaimana diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 dan UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).

Adapun substansi dari FGD yang dimoderatori Kristian Redison Simarmata (Direktur SMI), selama dua jam (pukul 10.00 – 12.00 WIB), itu antara lain, sebagai berikut:

Kejanggalan Pergeseran Anggaran

Dari diskusi terungkap bahwa enam kali pergeseran anggaran dilakukan dalam periode waktu yang tidak wajar. Dalam beberapa kasus, selisih antara pengajuan hingga pelaksanaan hanya hitungan hari. Padahal, secara ideal mekanisme ini memerlukan proses berlapis dan koordinatif antara SKPD, TAPD, dan DPRD.

Fenomena ini menunjukkan bahwa proses penganggaran telah kehilangan logika teknokratiknya dan berubah menjadi instrumen politik fiskal.

Celah Regulasi dan Justifikasi Keadaan Darurat

Permendagri tentang efisiensi dan keadaan darurat yang lahir pada masa pandemi dimanfaatkan sebagai dasar fleksibilitas fiskal. Namun, pasca-pandemi, justifikasi tersebut tidak lagi relevan untuk proyek infrastruktur rutin.

Penggunaan pos BTT untuk membiayai proyek jalan di Kabupaten Paluta yang disisipkan dalam kasus jembatan di Kabupaten Nias Barat tanpa dasar keadaan darurat merupakan pelanggaran terhadap prinsip spesifikasi penggunaan dana BTT.

Keterlibatan Pejabat Tinggi dan TAPD

Persidangan Tipikor mengungkap bahwa mantan Sekda Sumut selaku Ketua TAPD dan mantan Kapolres Madina telah dipanggil sebagai saksi. Dan, hakim meminta Jaksa KPK menerbitkan Sprindik baru untuk memperluas penyidikan.

Hal yang memperkuat dugaan bahwa proses pergeseran bukan inisiatif teknis Dinas PU, melainkan hasil dari arah kebijakan politis dan koordinasi lintas birokrasi.

Pola Pergeseran Top-Down dan Pergantian Kekuasaan

FGD juga menyoroti kemungkinan bahwa beberapa proyek disusun untuk mengakomodasi pergantian kekuasaan antara Pj Gubernur dan Gubernur definitif. Pergeseran diduga dilakukan untuk memindahkan pelaksana proyek (kontraktor) dan mengatur ulang distribusi proyek.

BacaKena OTT KPK, Bupati Langkat Digelandang Hanya Pakai Celana Pendek dan Sandal Jepit

Fungsi DPRD yang Lemah

Meskipun DPRD memiliki kewenangan pengawasan, dalam praktiknya tidak ditemukan bukti bahwa DPRD menerima pemberitahuan resmi atas setiap pergeseran. Hal ini menunjukkan fungsi pengawasan DPRD tidak berjalan efektif, dan mencerminkan lemahnya sistem check and balance antara eksekutif dan legislatif daerah.

Halaman Selanjutnya >>>

Halaman Sebelumnya <<<

FGD menghasilkan sejumlah temuan dan kesimpulan kunci sebagai berikut:

1. Pergeseran anggaran APBD Sumut 2025 tidak seluruhnya didasarkan pada prinsip kebutuhan publik atau keadaan darurat yang sah.

2. Kewenangan Gubernur dan TAPD digunakan secara tidak proporsional dalam menentukan prioritas anggaran tanpa persetujuan DPRD.

3. Proses hukum terhadap Kadis PU Topan Ginting membuka tabir jaringan korupsi birokratik yang lebih luas, melibatkan pengambil kebijakan tingkat tinggi, termasuk terlibatnya Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Satker PJN Wilayah I Sumut.

4. Majelis Hakim memiliki ruang luas untuk menggali substansi korupsi, tidak hanya pada bukti administrasi, tetapi juga pada motif dan relasi kekuasaan di balik kebijakan anggaran.

Dalam praktiknya, pergeseran APBD Sumut 2025 justru menunjukkan indikasi penyalahgunaan celah regulatif.

Berdasarkan data dari APBD Sumut dan dokumen keuangan, dalam kurun waktu kurang dari enam bulan, terjadi enam kali revisi alokasi anggaran. Sebagian besar diambil dari pos Belanja Tidak Terduga (BTT) yang idealnya digunakan untuk penanganan bencana atau keadaan darurat.

Pergeseran ini tidak diikuti oleh dokumentasi usulan dari kabupaten/kota, seperti kasus jalan Hutaimbaru–Sipiogot di Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta), yang ternyata tidak pernah diajukan secara resmi oleh pemerintah kabupaten.

Fakta ini terungkap dalam persidangan Tipikor Medan, yang memperlihatkan bahwa alokasi proyek justru disisipkan dalam nomenklatur anggaran untuk perbaikan jembatan di Kabupaten Nias Barat, seolah seperti bentuk manipulasi perencanaan lintas wilayah yang melanggar prinsip transparansi dan efektivitas anggaran.

Dalam FGD, peserta menekankan bahwa pergeseran anggaran tidak boleh dilihat semata sebagai prosedur administratif, melainkan sebagai representasi etika dan akuntabilitas politik dalam pengelolaan keuangan publik.

FGD ini menunjukkan bahwa persoalan korupsi anggaran tidak berdiri sendiri, melainkan berakar pada sistem tata kelola yang memberi ruang manipulasi regulatif dan penyalahgunaan kewenangan.

Kasus OTT terhadap Kadis PU Topan Ginting hanyalah puncak gunung es dari praktik patronase politik dan distorsi kebijakan publik.

BacaPerkara OTT Pungli, Walikota Siantar dan Wakil Walikota Diperiksa Polda Sumut

Direktur SMI, Kristian Redison Simarmata menegaskan, Suluh Muda Inspirasi (SMI) bersama Seknas FITRA dan Akademisi Hukum berkomitmen melanjutkan advokasi menuju tata kelola keuangan daerah yang transparan, adil, dan berpihak pada kepentingan masyarakat Sumatera Utara.

Halaman Sebelumnya <<<

Exit mobile version