Konspirasi Birokrat dan Kontraktor di Sumut: BTT Digeser ke Proyek Infrastruktur Tidak Mendesak
- BENTENGTIMES.com - Selasa, 7 Okt 2025 - 10:30 WIB
- dibaca 17 kali

MEDAN, BENTENGTIMES.com– Berdasarkan catatan Perkumpulan Suluh Muda Inspirasi (SMI) sepanjang Tahun Anggaran 2025, terjadi enam kali pergeseran dan penyesuaian anggaran yang dilakukan dalam waktu singkat dan tanpa pola prioritas yang jelas pada APBD Provinsi Sumatera Utara. Fenomena yang kemudian mencuat ke permukaan setelah KPK melakukan OTT terhadap Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Provinsi Sumatera Utara, Topan Ginting, atas dugaan penerimaan fee proyek sebesar 4% dari rekanan kontraktor.
Dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Perkumpulan Suluh Muda Inspirasi (SMI), pada Senin, 6 Oktober 2025, menganalisis hubungan antara dinamika pergeseran anggaran dan dugaan praktik korupsi struktural di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, serta menilai kembali fungsi pengawasan DPRD, peran TAPD, dan akuntabilitas Gubernur dalam kebijakan keuangan daerah.
Sekretariat Nasional FITRA, Siska Barimbing yang hadir sebagai narasumber dalam FGD itu menjelaskan, pergeseran anggaran dalam struktur APBD pada dasarnya diatur dan diperbolehkan berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dan Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah.
Namun, pergeseran anggaran hanya dapat dilakukan apabila terjadi perubahan keadaan yang menyebabkan pergeseran antar program, antar kegiatan, antar jenis belanja, atau antar SKPD, yang disertai persetujuan TAPD dan pemberitahuan kepada DPRD.
Badan Pendiri SMI, Elfenda Ananda mengungkapkan, secara rinci kronologi enam kali pergeseran anggaran APBD 2025 yang dilakukan tanpa konsistensi kebijakan pembangunan, dengan menyoroti anomali waktu pelaksanaan pergeseran yang dalam beberapa kasus dilakukan dalam hitungan hari.
Sementara, menurut sistematika regulasi, masih kata Elfenda, setiap pergeseran seharusnya melalui tahapan, yakni evaluasi usulan SKPD, pembahasan TAPD, pengesahan Gubernur, dan pemberitahuan resmi kepada DPRD.
Oleh sebab itu, Elfenda menegaskan bahwa pola pergeseran semacam ini tidak mungkin terjadi tanpa restu dari kepala daerah. Dia menduga regulasi Permendagri tentang efisiensi dan Permendagri keadaan darurat sejak pandemi Covid-19 dijadikan celah untuk mengalihkan dana dari pos Belanja Tidak Terduga (BTT) ke proyek infrastruktur yang tidak mendesak.
Baca: Bupati Meranti yang Sebut Kemenkeu Sarang Iblis itu, Kena OTT KPK
Kemudian, dia mengatakan, praktik pergeseran anggaran yang tidak transparan merupakan gejala korupsi sistemik dalam tata kelola daerah, termasuk dugaan bahwa proyek pembangunan seringkali muncul terlebih dahulu sebelum perencanaan formal dilakukan, menandakan adanya pola reverse budgeting– perencanaan disusun untuk menyesuaikan proyek yang sudah ditetapkan secara politis.
“Penyalahgunaan pos BTT untuk proyek jalan dan jembatan memperlihatkan manipulasi konseptual terhadap makna ‘keadaan darurat’ dalam keuangan daerah, dan menilai bahwa pola ini menunjukkan konspirasi birokrasi dan kontraktor yang difasilitasi oleh kelonggaran pengawasan DPRD,” kata Elfenda, yang juga Pengamat Anggaran ini di Sekretariat SMI, Medan.