Benteng Times

Mengembalikan Gerakan Oikumene Lewat Sidang Raya PGI ke-XVII Digelar di NTT

Pdt Saut Sirait.

PULAU SUMBA, BENTENGTIMES.com– Sidang Raya Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) ke-XVII digelar di Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), pada 8-13 November 2019. Sidang raya tersebut diharapkan dapat mengembalikan gerakan oikumene yang ada.

“Namun jujur harus diakui, pada masa rezim PGI saat ini, hubungan dengan organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan yang Oikumenis mengalami kemerosotan. Ini yang pertama dalam sejarah gerakan oikumene di Indonesia,” ujar Pdt Saut Sirait, dalam keterangan tertulis, Senin 11 Oktober 2019.

Saut mengatakan, PGI bukan tuan dari Sinode-Sinode dan PGI bukan perumus dogma Sinode itu sendiri. Akan tetapi, pimpinan Sinode yang harus kuat dan memiliki akses ke penguasa. Termasuk yang memiliki masalah kejiwaan oikumene perlu diinventarisir.

Dikatakan, manakala kaum terpelajar pribumi, khususnya lulusan Hoogere Theologische School (HTS) 9 Agsustus 1934, menjadi pelayan di gereja, semangat oikumene telah tertanam di sanubari mereka. Ia mencontohkan, Prof Muller Kruger, menjadi tonggak tersendiri dalam pengembangan theologia in loco, saat menjadi rektor kedua. Sebelumnya, 28 Desember 1932, Christelijke Studentenvereniging (CSV) of Java telah berdiri di Kaliurang, pada 9 Februari 1950 menjadi GMKI, dimotori Bapak Leimena. HTS kemudian berubah menjadi STT pada 27 September 1954.

Sejak itu, mahasiswa HTS memeroleh ruang ber-theologia in loco dalam rumah Oikumene, manakala mereka menjadi aktivis CSV of Java.

Ketika mereka lulus, lanjut Saut, perjumpaan lintas suku, denominasi gereja dan ragam disiplin ilmu dari mahasiswa-mahsiswa jon theologi, membentuk jiwa, dan semangat oikumenis yang membara.

Spirit Oikumene itu mereka wujudkan dengan mendirikan Dewan Permusyawaratan Gereja-gereja (Mei 1946), berpusat di Yogya, Majelis Usaha Bersama Gereja-gereja di Indonesia Bagian Timur, 9 Maret 1946, berpusat di Makassar, dan Majelis Gereja-Gereja bagian Sumatera.

BacaGeger! Pernikahan di HKBP Batal saat Suami Mempelai Wanita Datang, Cincin Dipaksa Dilepas

Kaum terpelajar pelayan (pendeta) gereja-gereja yang dibekali theologia in loco yang mumpuni dan perjumpaan dengan seluruh suku, disiplin ilmu dan denominasi Gereja di GMKI, semakin menguatkan kontak dan jaringan satu sama lain. Apalagi getar Ut Omnes Unum Sint, Yoh 17:21, (supaya semua menjadi satu), yang menjadi jiwa dan salam nasional GMKI, mendorong dan mempermudah mereka untuk mendirikan rumah oikumene yang lebih luas, tidak hanya pada diri mahasiswa dan senior-senior di GMKI, tetapi harus seluruh umat gereja. Dengan mengambil tempat di STT Jakarta, 23-28 Mei 1950, dilaksanakan konferensi pembentukan dewan gereja-gereja di Indonesia.

Spirit menjadi satu itulah yang menjadi keharusan untuk terus menerus digemakan DGI (d/h PGI) melalui keputusan, program, langgam, sikap dan elit para eksekutif PGI.

“Namun jujur harus diakui, pada masa rezim PGI saat ini, hubungan dengan organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan yang Oikumenis mengalami kemerosotan. Ini yang pertama dalam sejarah gerakan oikumene di Indonesia,” terang Saut, salah seorang peninjau di Sidang Raya PGI itu.

Mantan Ketua Pengembangan Silabus Pembinaan Pemuda PGI 1985 ini, PGI yang tujuan utamanya mewujudkan oikumene, justru menciptakan ‘keretakan oikumenis’.

“Sungguh ironi, para pengemban ‘oikumene’, khususnya para penanggungjawab yang fulltimer di PGI justru menciptakan jarak. Bahkan ‘permusuhan’ dengan organisasi pemuda-mahasiswa yang menjadi pilar utama oikumene di Indonesia,” kata Saut.

Pada organisasi pemuda-mahasiswa yang oikumenis itulah anak-anak seluruh gereja-gereja, dari GBI, GMIM, GKS, GKE, GKJ, BNKP, dan lain-lain berjumpa dalam semangat dan bingkai oikumene. Kaum muda dan mahasiswa ini merupakan mitra intim yang dipelihara PGI sejak kelahirannya dan pada pemimpin-pemimpin yang lalu, kecuali ‘Eksekutif Utama’ PGI sekarang.

Bagi Kurator Pendidikan Politik PGI (2005-2007) ini, lanjut Saut, kondisi demikan teramat penting untuk segera dipulihkan. Sedangkan orang yang membuat masalah atas keretakan itu, Saut menyebutnya ‘Tidak Berjiwa Oikumenis’. Dan, mereka yang menjadi bagian dari masalah tidak akan mungkin mengatasinya.

“SR (Sidang Raya) ini harus mengembalikan roh oikumene itu dengan lebih dulu memilih orang yang tidak mengalami ‘masalah kejiwaan oikumenis’. Apalagi terhadap para pemuda dan mahasiswa yang merupakan masa depan, kesinambungan dan pembaruan semua,” pungkasnya.

Pemaknaan oikumene yang lebih substansial bagi dosen STT HKBP ini adalah pengadaan kanal atau jembatan bagi Sinode-Sinode untuk mendapat akses terhadap para pengambil keputusan dalam semua bidang.

BacaJokowi-Iriana Hadiri Perayaan Paskah Nasional di Samosir

Selama ini, sambung penggagas Perkemahan Pemuda PGI ini, eksekutif PGI, khususnya beberapa orang yang menguasai dan memiliki akses itu, tanpa ‘membagi’ kepada pimpinan-pimpinan Sinode.

Padahal letak kepentingan umat yang membutuhkan perlu akses terhadap penguasa, sangat jelas sepenuhnya pada pimpinan sinode-sinode. Bukan sekadar membawa dan melibatkan para pimpinan dalam acara-acara seremonial.

“Pimpinan gereja-gereja hanya penggembira, bahkan jadi ‘barang jualan’. Itu yang dialami mereka,” katanya.

Kendati demikian, Saut berharap, eksekutif (pengurus) PGI berikutnya harus memastikan dan menjamin akses yang kuat bagi pimpinan sinode-sinode. Bahkan harus dipetakan dengan baik.

“Misalnya, pimpinan sinode-sinode di Papua perlu prioritas akses terhadap Panglima atau Menkeu dan Menlu. PGI harus bisa membuka akses bagi mereka secara langsung dan berkelanjutan. Demikian juga dengan pimpinan sinode-sinode di Sulawesi, Sumatera, Kalimantan dan Jawa sekalipun. Bukan PGI yang menggenggam akses-akses pada penguasa, tetapi pimpinan-pimpinan sinodelah yang harus dibukakan,” ujar dia.

Kasus pernyataan sikap ‘iman’ eksekutif, khususnya yang fulltimer di PGI menyangkut, harus menempuh mekanisme dan prosedur yang menghargai dan menempatkan pimpinan sinode-sinode sebagai pemilik PGI, bukan eksekutif.

Tanpa memasalahkan substansinya, lanjut Saut, mekanisme dan prosedur mengenai LGBT, sangat jelas telah menempatkan eksekutif PGI di atas pimpinan sinode-sinode, yang memiliki dogma masing.

Kerusakannya adalah pada mekanisme dan prosedur. PGI tidak memiliki hak untuk merumuskan semacam ‘dogma’ bagi gereja-gereja. Ini merupakan perusakan substansi PGI, fundamental oikumene yang telah bergeser.

BacaDanau Toba akan Jadi Pusat Wisata di ASEAN, Masyarakat dan Gereja Harus Terlibat

Bagi gereja-gereja, dogma terhadap LGBT, mungkin tidak sesuai dengan selera dan iman eksekutif PGI. Namun sama sekali PGI tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan sikap baru atau ‘dogma’ PGI tersendiri atas hal itu. Hal ini sangat penting untuk dingatkan agar ke depan PGI tidak menjadi tuan dogma gereja-gereja. Dalam kasus ini teramat jelas, Eksektutif (PGI) berhadap-hadapan bagai head-head terhadap pimpinan sinode-sinode gereja, yang sesungguhnya “pemilik” PGI itu sendiri.

“Para pimpinan Sinode sekarang pasti bisa mengingat dan mengenang, meski mungkin sayup-sayup dalam zaman Soeharto, sikap Eksekutif PGI yang sedemikian kuat bersatu dengan pimpinan sinode-sinode menghadapi tekanan berat mengenai asas tunggal yang melampaui kewenangan pemerintah. Sangat kuat, cita rasa oikumene yang merambah ke seluruh umat dan berbuah. Atau mungkin Bapak Soeharto harus kita sebut dan hidupkan sejenak di ruang sidang SR PGI, di Gereja Payeti? Maaf, Bapak Soeharto sudah meninggal, sekadar melawan lupa,” pungkas Saut mengakhiri.

Exit mobile version