Mengembalikan Gerakan Oikumene Lewat Sidang Raya PGI ke-XVII Digelar di NTT

Share this:
BMG
Pdt Saut Sirait.

Mantan Ketua Pengembangan Silabus Pembinaan Pemuda PGI 1985 ini, PGI yang tujuan utamanya mewujudkan oikumene, justru menciptakan ‘keretakan oikumenis’.

“Sungguh ironi, para pengemban ‘oikumene’, khususnya para penanggungjawab yang fulltimer di PGI justru menciptakan jarak. Bahkan ‘permusuhan’ dengan organisasi pemuda-mahasiswa yang menjadi pilar utama oikumene di Indonesia,” kata Saut.

Pada organisasi pemuda-mahasiswa yang oikumenis itulah anak-anak seluruh gereja-gereja, dari GBI, GMIM, GKS, GKE, GKJ, BNKP, dan lain-lain berjumpa dalam semangat dan bingkai oikumene. Kaum muda dan mahasiswa ini merupakan mitra intim yang dipelihara PGI sejak kelahirannya dan pada pemimpin-pemimpin yang lalu, kecuali ‘Eksekutif Utama’ PGI sekarang.

Bagi Kurator Pendidikan Politik PGI (2005-2007) ini, lanjut Saut, kondisi demikan teramat penting untuk segera dipulihkan. Sedangkan orang yang membuat masalah atas keretakan itu, Saut menyebutnya ‘Tidak Berjiwa Oikumenis’. Dan, mereka yang menjadi bagian dari masalah tidak akan mungkin mengatasinya.

“SR (Sidang Raya) ini harus mengembalikan roh oikumene itu dengan lebih dulu memilih orang yang tidak mengalami ‘masalah kejiwaan oikumenis’. Apalagi terhadap para pemuda dan mahasiswa yang merupakan masa depan, kesinambungan dan pembaruan semua,” pungkasnya.

Pemaknaan oikumene yang lebih substansial bagi dosen STT HKBP ini adalah pengadaan kanal atau jembatan bagi Sinode-Sinode untuk mendapat akses terhadap para pengambil keputusan dalam semua bidang.

BacaJokowi-Iriana Hadiri Perayaan Paskah Nasional di Samosir

Selama ini, sambung penggagas Perkemahan Pemuda PGI ini, eksekutif PGI, khususnya beberapa orang yang menguasai dan memiliki akses itu, tanpa ‘membagi’ kepada pimpinan-pimpinan Sinode.

Padahal letak kepentingan umat yang membutuhkan perlu akses terhadap penguasa, sangat jelas sepenuhnya pada pimpinan sinode-sinode. Bukan sekadar membawa dan melibatkan para pimpinan dalam acara-acara seremonial.

“Pimpinan gereja-gereja hanya penggembira, bahkan jadi ‘barang jualan’. Itu yang dialami mereka,” katanya.

Share this: