Benteng Times

Di Balik Terbengkalainya Tol Medan-Binjai, Ada Empat Tersangka Mafia Tanah

Kapolda Sumut Irjen Pol Agus Andrianto, didampingi Kepala Kantor Wilayah BPN Sumut Bambang Priono, saat melakukan paparan kasus dugaan pemalsuan surat tanah yang menghambat pembangunan jalan tol Medan-Binjai, Rabu (26/12/2018).

MEDAN, BENTENGTIMES.com– Pembangunan tol Medan-Binjai yang hingga kini belum tuntas, ternyata terkendala karena adanya gugatan perdata. Salah satunya menggunakan grand sultan palsu yang tidak terdata di BPN. Kasus ini kemudian ditangani Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut) dan menetapkan empat orang tersangka mafia tanah.

Keempat tersangka itu adalah seorang pengacara atas nama Afrizon dan tiga masyarakat yang mengaku sebagai ahli waris Sultan Ma’moen Al Rasyid; masing-masing bernama Tengku Awaluddin, Tengku Azan Khan, dan Tengku Isywari. Mereka diduga melakukan pemalsuan grand sultan (sertifikat tanah) di Tanjung Mulia Hilir.

“Tol Medan-Binjai terkendala karena adanya gugatan perdata. Salah satunya menggunakan grand sultan palsu yang tidak terdata di BPN dan hanya foto kopi palsu. Surat dipalsukan, seolah-olah dikeluarkan BPN,” kata Kapolda Sumut Irjen Pol Agus Andrianto, saat melakukan paparan kasus dugaan pemalsuan grand sultan (sertifikat tanah) yang dilakukan empat tersangka, Rabu (26/12/2018).

Agus mengungkapkan, modus yang dilakukan pengacara Afrizon, yakni mengubah isi surat Kepala Kantor Pertanahan Kota Medan, Nomor: 598/12.71-300/VI/2016, tertanggal 15 Juni, dengan isi Grand Sultan Nomor: 254, 255, 256, 258, dan 259, yang sebelumnya memang sudah terdaftar di Kantor Pertanahan Kota Medan. Namun, dari pernyataan Tengku Awaluddin dan Tengku Isywari, keduanya sama sekali tidak pernah melihat grand sultan tersebut.

Dalam paparan kasus pemalsuan itu, polisi hanya menghadirkan dan melakukan penahanan terhadap tiga tersangka. Sementara, satu tersangka lainnya atas nama Tengku Azan Khan sedang mengalami stroke dan dirawat di rumah sakit.

Direktur Reserse Kriminal Umum (Dir Reskrimsus) Polda Sumut Kombes Pol Andi Rian menambahkan, laporan (LP) atas kasus ini diterima Polda Sumut, pada Oktober 2018. Setelah dua bulan proses penyidikan, para pelaku akhirnya dapat diamankan.

BacaPembangunan Jalan Tol akan Dilanjutkan Hingga ke Siantar

BacaMasyarakat Desa Sidodadi Minta Hentikan Okupasi Lahan

Andi menjelaskan, para pelaku membuat surat hak lahan yang disengketakan seolah asli dari BPN, agar dapat memperoleh ganti rugi. Maka dari itu, keempat pelaku akan dipersangkakan dengan Pasal 263 dan 266 KUHPidana dengan ancaman 8 tahun.

“Pemalsuan ini yang buat, pengacaranya. Mudah-mudahan dalam waktu dekat, dapat kita lakukan tahap 1 dan kita sudah koordinasi dengan kejaksaan,” pungkas Andi.

Pada kesempatan itu, Andi mengatakan masih dilakukan penyelidikan lebih lanjut. Sehingga ada kemungkinan dapat dikembangkan terhadap tersangka lainnya.

“Masih ada 6 gugatan lagi kepada tim pengadaan tanah dengan motif grand sultan. Ini yang masih kita pelajari,” imbuhnya.

Kakanwil BPN Sumut Bambang Priono yang juga hadir dalam paparan kasus itu, menjelaskan kendala pembangunan tol Medan-Binjai belum dapat dituntaskan karena munculnya 11 gugatan perdata di pengadilan. Yang digugat 16 hektare (ha) dengan meminta uang ganti rugi sebesar Rp321 miliar.

“Saya sebagai ketua panitia pengadaan tanah. Kalau sempat ini diloloskan, saya ikut menggembosi negara dan saya juga pasti akan ditangkap pak Kapolda. Ini adalah program nasional,” ujar Bambang.

Kini, proyek pembangunan jalan tol Medan-Binjai sudah dikerjakan sepanjang 22,825 kilometer. Sisanya, sekitar 2,616 kilometer atau hanya 7,36 persen lagi.

Lebih lanjut Bambang, dalam luas lahan 800 meter persegi yang disengketakan tersebut terdapat 459 Kepala Keluarga (KK) dengan 9 status hak milik. Dari 11 gugatan, sebanyak 5 perkara sudah selesai. Sisanya 6 perkara lagi masih dalam proses pengadilan.

Sementara itu, pengacara Afrizon sendiri mengaku, jika dirinya berjuang atas kepentingan ahli waris keturunan Sultan. Kepadanya, ketiga tersangka mengaku sebagai ahli waris Sultan Ma’moen Al Rasyid.

BacaGerbang Tol Tebing Tinggi Resmi Beroperasi, ke Medan Bisa Ditempuh 45 Menit

BacaRapat di Kementerian PUPR, Terkelin Usul Pembangunan Tol Medan-Berastagi

Namun, Afrizon enggan menyampaikan penjelasan lebih lanjut dan menegaskan akan membuktikannya di persidangan. Meski ia sendiri mengakui belum pernah melihat grand sultan yang dimaksud dalam kasus tersebut.

“Nanti, kita buktikan di persidangan. Kasus ini perlu diuji. Pihak Polda silakan menyelidiki, tapi kalau saya berkomentar, takutnya nanti terjadi konflik perbedaan pandangan,” ujarnya.

Lahan Perkebunan Bukan Grand Sultan

Terpisah, Ahli Hukum Tanah Adat dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Edy Ikhsan menjelaskan bahwa tidak satu pun pelepasan tanah yang berada pada proyek pembangunan tol Binjai hingga Helvetia, berdasarkan grand sultan. Kalau ada berdasarkan grand sultan, menurut Edy, itu dapat dipastikan palsu.

Masih kata Edy, pelepasan tanah dari Binjai-Helvetia berdasarkan pengetahuan hukum dan data-data yang ia miliki, hampir tidak boleh di daerah itu memiliki grand sultan.

“Pada zaman kolonial, tidak ada grand sultan karena di daerah itu tanah konsesi perkebunan tembakau,” terang Edy.

Dijelaskan, tanah konsesi merupakan perjanjian jangka panjang selama 75 tahun yang dibuat Sultan Deli, dengan pengusaha-pengusaha asing zaman dahulu. Oleh sebab itu, konsesi diberikan kepada perusahaan. Sedangkan, grand sultan dapat dipastikan diberikan kepada perseorangan.

“Di atas tanah konsesi yang sudah diberikan hak konsensi, tidak akan ada yang namanya grand sultan. Saya bersedia dipanggil ke pengadilan untuk menjelaskan hal ini berdasarkan data. Saya bisa kasih tunjuk di daerah-dearah mana saja yang boleh ada grand sultan,” ujarnya.

BacaPemerintah akan Bangun Rest Area di Jalan Nasional Silangit-Toba

BacaMudik Makin Lancar, Perlu Kerendahan Hati Akui Hasil Kerja Jokowi

Lebih lanjut Edy menuturkan, fungsi BPN dalam melakukan verifikasi benar tidaknya sebuah dokumen hak atas tanah dinilai sudah betul. Edy juga menjelaskan, setelah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria dikeluarkan, ada kewajiban agar seluruh pemegang hak termasuk grand sultan dikonversi menjadi sertifikat hak milik (SHM).

Seluruh pencatatan berkaitan grand sultan, sambung Edy, di dalam buku besar milik BPN jelas tertera, mulai nomor pertama dan terakhir.

“Jadi, kalau ada oknum yang melakukan pemalsuan terhadap dokumen, sudah jelas mengandung unsur pidana. Walaupun nantinya harus ada pembuktian di pengadilan,” katanya.

Diungkapkan bahwa indikasi terjadinya pemalsuan berkas banyak terjadi karena gand sultan yang kedua dibuat pada tahun 1930-an sudah distandarisasi dan dicetak tinggal memasukkan nama.

“Jadi grand sultan yang pertama dibuat tahun 1910-an masih dalam tulisan. Jadi, banyak sekali form-form pada revolusi sosial pada tahun 1946 hilang dan terbakar. Itulah pada saat itu banyak form-form jatuh ke tangan orang yang kemudian seolah-olah asli. Dahulunya, grand sultan disimpan pada masing-masing kerapatan adat yang dimiliki kesultanan,” ujarnya.

Untuk membedakan grand sultan asli dan palsu, hal itu merupakan tanggung jawab dari BPN, melalui sosialisasinya mengenai kejelasan fisik mengenai surat-surat tanah model lama tersebut. Sebab, tidak semua masyarakat awam paham betul struktur fisik grand sultan yang dituliskan dalam bahasa Arab Melayu.

BacaAsyik! Medan-Sei Rampah Hanya 30 Menit

BacaSeperti Ojek, Helikopter Online Tersedia di Jakarta, Segini Harganya…

Bahkan pihak BPN sendiri juga tidak terlalu banyak yang memahami dan mampu membaca grand sultan. Oleh sebab itu, harus ada upaya dalam konteks yang lebih normatif menyosialisasikan, tidak hanya diberi kepada masyarakat tapi juga kepada notaris dan pengadilan.

Exit mobile version