PB IDI Tunda Sanksi dr Terawan

Share this:
kompas.com
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia Prof dr Ilham Oetama Marsis SpOG (tengah), dalam jumpa pers di Kantor PB IDI di Menteng, Jakarta Pusat, Senin (9/4/2018).

JAKARTA, BENTENGTIMES.com – Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menunda pelaksanaan keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) yang menjatuhkan sanksi terhadap Kepala Rumah Sakit Umum Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Mayjen TNI dokter Terawan Agus Putranto.

MKEK sebelumnya merekomendasikan pemberian sanksi terhadap Terawan karena dianggap melanggar kode etik kedokteran.

Ketua Umum PB IDI Prof dr Ilham Oetama Marsis SpOG mengatakan, keputusan tersebut disepakati dalam Rapat Majelis Pimpinan Pusat (MPP) PB IDI yang diselenggarakan pada Minggu (8/8/2018) kemarin.

“Rapat MPP memutuskan bahwa PB IDI menunda melaksanakan putusan MKEK karena keadaan tertentu. Oleh karenanya, ditegaskan bahwa hingga saat ini dr TAP masih berstatus sebagai anggota PB IDI,” kata Marsis kepada wartawan, Senin (9/4/2018).

Marsis menjelaskan, Terawan juga telah menghadiri forum pembelaan yang digelar oleh PB IDI pada Jumat (6/4/2018). Menurut Marsis, forum pembelaan itu diatur dalam Pasal 8 ART IDI.

Selanjutnya, PB IDI akan bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan melalui Health Technology Assesment (HTA) untuk menguji metode pengobatan yang dilakukan oleh Terawan.

“MPP merekomendasikan penilaian terhadap tindakan terapi dengan metode DSA/brainwash dilakukan oleh Tim Health Technolgy Assesment (HTA) Kementerian Kesehatan RI,” ujar Marsis.

HTA merupakan lembaga di bawah Kementerian Kesehatan yang bertugas untuk menguji teknologi pengobatan kesehatan yang terbaru.

Sebelumnya, MKEK memberi rekomendasi sanksi atas pelanggaran etik berat yang dilakukan Terawan. Terawan dianggap melanggar Pasal 4 dan Pasal 6 Kode Etik Kedokteran Indonesia.

“Seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri,” demikian bunyi Pasal 4 Kode Etik Kedokteran Indonesia.

Sementara, Pasal 6 Kode Etik Kedokteran Indonesia berbunyi “Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat”.

Share this: