GUNUNGSITOLI, BENTENGTIMES.com– Aktivitas pengerukan tanah diduga ilegal telah berlangsung di Desa Bawadesolo. Tanah urug dari Desa Bawadesolo itu disuplai untuk pematangan lahan pembangunan infrastruktur LNG dalam Proyek Gasifikasi Klaster Nias, di pesisir pantai Desa Dahana, Kecamatan Gunungsitoli Idanoi, Kota Gunungsitoli.
Selama aktivitas berlangsung kurang lebih sebulan, warga resah karena terdampak debu.
Dampak terburuk dirasakan para generasi penerus bangsa yang melangsungkan proses belajar di SMA Negeri 1 Gunungsitoli Idanoi. Mereka sangat terganggu, bukan hanya karena debu, akan tetapi juga diakibatkan suara bising menderu dari alat berat excavator yang melakukan pengerukan tanah di samping sekolah mereka.
Kebetulan saja, posisi kuari tanah urug itu berada tidak jauh dari SMA Negeri 1 Gunungsitoli Idanoi di Desa Bawadesolo.
Jika ditelisik lebih jauh, yang diuntungkan dari tambang galian C ini, adalah pengusaha. Termasuk pengusaha dari CV Kurnia Utama. Mereka yang berjasa atas pengadaan tanah urug untuk pematangan lahan pembangunan infrastruktur LNG dalam Proyek Gasifikasi Klaster Nias, itu.
Sementara itu, Pemko Gunungsitoli sejauh ini sama sekali belum ada menerima apa-apa.
Kepala Bidang Pendapatan pada Badan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD) Kota Gunungsitoli, Mashuri Baeha mengungkapkan belum ada pungutan pajak atas aktivitas Galian C di wilayah Gunungsitoli Idanoi, baik kepada penyedia maupun pengguna tanah. Padahal, menurut Mashuri Baeha, kegiatan tersebut seharusnya dikenakan pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB).
“Tentu ada potensi kerugian daerah, karena pajaknya seharusnya bisa menambah PAD. Tapi, kalau aktivitas itu tidak memiliki izin, kami tidak bisa memungut pajak. Kami akan segera cek ke lokasi untuk memastikan,” kata Mashuri kepada BENTENG TIMES.
Mashuri menambahkan, subjek dan wajib pajak MBLB adalah setiap orang pribadi atau badan yang mengambil mineral bukan logam dan batuan. Dasar pengenaan pajak ditentukan dari nilai jual hasil pengambilan material, yang dihitung dari volume atau tonase dikalikan harga patokan per jenis mineral.
Baca: Galian Tanah di Samping SMAN 1 Gunungsitoli Idanoi Diduga Ilegal
Harga patokan tersebut ditentukan berdasarkan rata-rata harga jual di mulut tambang dan ditetapkan sesuai regulasi perundang-undangan yang berlaku. Adapun tarif pajak MBLB saat ini ditetapkan sebesar 20 persen.
Terpisah, Kepala Unit IV Sat Reskrim Polres Nias, Aipda Nelman Halawa menuturkan pihaknya masih melakukan pendalaman terkait dugaan aktivitas pertambangan ilegal tersebut.
“Kami sedang mendalami dan mengumpulkan bukti-bukti untuk penyelidikan lebih lanjut,” ujar Aipda Nelman sebagaimana disampaikan melalui Plt Kasi Humas Polres Nias, Aipda Motivasi Gea, kepada BENTENG TIMES, Selasa (5/8/2025).
Hingga berita ini ditayangkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak perusahaan pelaksana proyek maupun pemerintah daerah terkait dugaan aktivitas Galian C ilegal tersebut.
Untuk diketahui, aktivitas pengerukan tanah yang tergolong Galian C dan diduga ilegal di wilayah Kecamatan Gunungsitoli Idanoi, Kota Gunungsitoli, Sumatera Utara, terus menjadi sorotan publik. Selain dinilai merusak lingkungan, kegiatan tersebut juga ditengarai menimbulkan kerugian bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemerintah Kota Gunungsitoli.
Pantauan di lapangan menunjukkan, aktivitas pengerukan yang telah berlangsung sekitar satu bulan itu menggunakan sejumlah alat berat seperti excavator. Tanah hasil kerukan diangkut puluhan truk setiap hari melintasi kawasan padat penduduk dan dekat fasilitas pendidikan.
Namun hingga kini, belum terlihat adanya tindakan tegas dari pihak berwenang, baik dari Pemko Gunungsitoli maupun aparat penegak hukum, untuk menghentikan kegiatan yang diduga tidak mengantongi izin resmi tersebut.
Baca: Berlagak Preman, Oknum Bernama Iwan Jawa Usir Wartawan dari Lokasi Proyek PLN di Gunungsitoli
Berdasarkan informasi yang dihimpun BENTENG TIMES, tanah hasil Galian C itu diduga dimanfaatkan untuk proyek pematangan lahan pembangunan infrastruktur LNG dalam Program Gasifikasi Klaster Nias. Proyek tersebut dikerjakan oleh PT PLN Energi Primer Indonesia (EPI), anak perusahaan dari PT PLN (Persero), yang disebut-sebut bekerja sama dengan kontraktor lokal, CV Kurnia Utama.