Benteng Times

Kisah Haru Saat Misa Penghormatan untuk Bayu Penghadang Bomber

Misa penghormatan untuk Bayu, korban yang menghadang pelaku bom bunuh diri di Gereja Santa Maria Tak Bercela, Surabaya.

SURABAYA, BENTENGTIMES.com – Aloysius Bayu Rendra Wardhana dikenang karena aksi heroiknya menghadang bomber di Gereja Santa Maria Tak Bercela, Surabaya. Ada sebuah kisah mengharukan saat misa dilakukan sebagai penghormatan untuk Bayu.

Kisah heroik Bayu terjadi pada Minggu (13/5/2018) pagi. Jelang misa kedua, pukul 07.05 WIB, dua orang berboncengan nekat menerobos masuk ke kawasan Gereja Santa Maria Tak Bercela (SMT).

Bayu yang sedang bertugas parkir gereja menghadang kedua pengebom itu. Sebelum meledakkan diri, para bomber itu sempat didorong oleh Bayu agar tak memasuki area gereja.

Bom yang digunakan para pelaku itu berjenis TATP (triaceton triperoxide) yang dijuluki ‘The Mother of Satan’. TATP merupakan bom kimiawi yang memiliki daya ledak tinggi. Polisi menyatakan TATP merupakan jenis bom yang mudah dibuat, namun sangat sensitif dan tidak stabil. Bom ini termasuk dalam kategori high explosive.

Kembali mengenai misa untuk menghormati Bayu. Kisah mengharukan mengenai misa ini ditulis oleh Andy Budiman, seorang mantan jurnalis yang kini menyeberang ke dunia politik. Dia bergabung ke PSI.

Andy hadir saat Misa yang dilakukan pada Selasa (15/5/2018) kemarin. Berikut penuturan Andy dalam sebuah tulisan:

Semua Sudah Diampuni

“Tak ada kebencian. Semua sudah diampuni,” kata Romo Kurdo menceritakan pertemuannya dengan keluarga korban bom Gereja Santa Maria Tak Bercela. Para pengunjung misa yang datang untuk berdoa dan menghormati Bayu atau Aloysius Bayu Rendra Wardhana yang gugur ketika menghadang para teroris, meneteskan air mata.

Selasa (15/5) sore itu, perasaan saya sebagai bagian dari Indonesia, entah kenapa terasa begitu kuat. Ada rasa marah, membayangkan ada orang yang begitu biadab melancarkan teror dan membunuh mereka yang tak bersalah, tapi sekaligus terharu dan sedih melihat para korban yang sangat tegar, tabah, dan memaafkan.

Sebelum misa, saya ditemani Pak Irianto Susilo, salah seorang tokoh dialog lintas agama Surabaya, berkeliling ground zero mendengarkan cerita detail yang begitu mengerikan tentang apa yang terjadi pada hari Minggu pagi itu. Dua kakak beradik yang mengendarai motor berusia belasan, dihadang oleh Bayu, dan kita semua tahu bagaimana sisa cerita itu. Potongan tubuh berceceran dan darah tumpah di halaman rumah ibadah.

Sore itu ketegangan masih terasa mengambang di udara. Orang-orang menggelengkan kepala tak percaya atas apa yang terjadi, tukang yang tenggelam dalam kesibukan memperbaiki beberapa bagian gereja yang rompal dan kaca yang pecah. Aroma udara masih menyisakan sedikit bau amis dan kopi yang ditaburkan untuk menyamarkan sisa darah.

Saya menatap nanar ke arah bagian depan atas bangunan berbahan seng di seberang gereja yang berjarak sekitar 200 meter. Bagian yang terlihat penyok berwarna merah. “Kepala pelaku yang diboncengi mental sampai ke sana” kata seorang petugas keamanan. Saya ngeri membayangkan betapa dahsyatnya daya ledak bom.

Di kantin, para ibu jemaat gereja masih mencoba tersenyum sambil melayani dan membagikan makanan kepada para aktivis, petugas keamanan, tukang, dan wartawan yang datang ke titik nol.

Sekitar pukul 16.30 serombongan anak muda dari organisasi Gusdurian Sidoarjo tiba. Sebelumnya di sebuah grup whatsapp Bhineka Surabaya, mereka membuat janji berkunjung ke Gereja Santa Maria. Mereka datang dengan sepeda motor sambil membawa seikat mawar merah dan putih.

Mata saya berkabut mendengar misa Romo Kurdo yang begitu tegar memaafkan. Saya memperhatikan anak-anak Gusdurian memeluk erat bunga yang mereka siapkan. Seorang perempuan berjilbab aktivis Gusdurian mencium buket mawar dengan takzim. Perasaan saya bercampur antara sedih dan terharu.

Setelah misa, rombongan Gusdurian maju ke depan memanjatkan doa secara Islam untuk Bayu dan lima korban lainnya. Zen, Koordinator Gusdurian Sidoarjo, di hadapan jemaat Katolik, mengucapkan dukacita mendalam: “Atas nama umat Islam, kami meminta maaf atas apa yang terjadi…”. Beberapa jamaat mengusap air mata dan berjalan menyalami, mengucapkan terima kasih kepada anak-anak muda yang terinspirasi oleh Gus Dur.

Sore itu di dalam gereja, saya merasakan bayangan tentang Indonesia hadir. Perempuan berjilbab menyalami dan memeluk suster dan jemaat, menghibur membesarkan hati mereka. Suasana damai.

Saya berjalan pelan ke luar, dan segera menyadari kenyataan getir bahwa rumah ibadah ini dijaga sangat ketat. Indonesia masih jauh dari yang saya mimpikan.

Surabaya, 15 Mei 2018
Andy Budiman
Jurnalis yang kini terjun ke politik

Exit mobile version