Halal dan Haram Untuk Siapa..

Share this:
BMG
Mahadi Sitanggang.

TERAKHIR ini, wacana wisata halal ala Edy Rahmayadi – walau sudah diralat – di kawasan Danau Toba menyita perhatian warga, khususnya di Sumut. Berbagai respon pro dan kontra menyemak di medsos (media sosial). Padahal, selama ini nyaris tak ada persoalan halal dan haram di Danau Toba.

Oleh: Mahadi Sitanggang, Jurnalis, aktif di Aliansi Jurnalis Independen-AJI Medan.

Tanpa harus dituntun, masyarakat di sana sudah tahu siapa mau ke mana, cari apa untuk siapa, cari siapa untuk siapa, cari apa untuk apa, dan cari siapa untuk apa.

Tiba-tiba bagaikan menemukan satu daerah baru yang dihuni orang-orang primitif, Gubernur Sumut Edy Rahmayadi, menghembuskan konsep wisata halal – gak tahu ya kalau dia bilang syariah – untuk menarik kunjungan wisatawan Malaysia.

Ibarat tangan RAJA MIDAS, hembusan ‘halal’ ala Edy Rahmayadi berubah jadi badai. Warga sekitar Danau Toba yang kebetulan dihuni kebanyakan Kristen tersakiti. Edy sang Gubernur dibully di berbagai tempat. Jangan tanya di medsos, Edy yang kesohor itu seolah habis dikuliti, dikoyak, diplintir, dilempar tinggi ke awan agar jatuh terhempas ke bumi.

Penyebabnya satu, kata HALAL dan HARAM.

Halal dan haram adalah kosa kata dalam tatanan bahasa Indonesia. Jadi, setiap warga Indonesia berhak menggunakan kata itu. Setiap orang mengartikan kata itu sama maknanya dalam konteks berbahasa Indonesia.

Uang hasil korupsi, judi, curian, dan sejenisnya sering disebut uang haram. Ada pekerjaan yang halal yang secara umum diketahui umum dan tidak melanggar hukum positif. Ada barang haram, seperti narkoba.

Kembali ke Danau Toba. Saat ada yang menyebutkan ada praktik makan minum haram di sana yang dilontarkan dalam konteks berbahasa Indonesia, praktis hal itu menyakiti pelaku makan dan minum di sana. Atas dasar apa praktik makan minum mereka dikatakan haram? Siapa yang tidak marah dituduh makan atau minum sesuatu yang haram?

Jika tuduhan ala Edy itu dalam konteks agama, harusnya cukuplah Edy, Edy, dan Edy yang lain menerapkan itu dalam kehidupannya. Jangan memaksakan ajaran haram itu berlaku bagi yang tidak mengenal haram halal sesuatu yang dikonsumsi. Apalagi secara gamblang seolah menciptakan stigma, kawasan itu dihuni orang-orang berpraktik haram.

Halnya akan sama jika ada pihak yang mengharamkan praktik di komunitas agama lain dari sudut pandang agamanya. Yang ada hanya sakit hati dan melahirkan perlawanan.

Kata halal dan haram bukan milik satu komunitas. Kata itu milik tatanan bahasa Indonesia. Siapa pun dalam konteks hidup di NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) harusnya memahami arti kata halal dan haram itu sesederhana mungkin.

Jangan pernah memaksa arti dari sudut pandang satu golongan. Apalagi dari golongan yang jelas berbeda.

“Haram dan halalmu, tidak sama dengan halal dan haramku. Bagimu haram dan halalmu, bagiku haram dan halalku”

Catatan kecil dari yang suka kesederhanaan berbahasa.

Share this: