Benteng Times

Menguji Politik ‘Playing The Victim’ ala Dinasti Cikeas

Ilustrasi

ADA kejadian menarik di Riau kemarin. Dalam teori akal sehat, Demokrat yang relatif lemah di Riau, memaksakan diri konsolidasi bertepatan dengan Acara Pemberian Gelar Adat Riau kepada Presiden RI Joko Widodo. Apakah ini suatu kebetulan belaka?

Dalam teori komunikasi massa dimana SBY adalah maestro, Demokrat seolah melakukan ‘bunuh diri’ sebab mengadakan acara konsolidasi pada hari yang sama dengan kegiatan Presiden, karena liputan berita pasti tenggelam.

Tetapi apa yang menarik? Ternyata mereka (baca: Demokrat) mencoba bereksperimen melalui sebuah manuver politik. Justru dengan adanya Jokowi itulah, diharapkan sang sutradara mampu mencuri perhatian publik dengan sebuah skenario brillian, sebuah orkestrasi drama penuh air mata!

SBY sebagai seorang ahli strategi dan pencitraan, secara sengaja memilih momentum itu! Beliau dengan penuh percaya diri ingin menunjukkan: “Jokowi bukan tandingannya dalam hal memainkan skenario politik yang mengundang tangis serta keharuan publik. Teori propaganda yang dipakai dengan jitu: Jokowi penguasa lalim, Demokrat adalah korban kejahatan demokrasi.

“Orang yang menari, saya yang memainkan gendangnya”: Berita gelar adat Jokowi tidak bergaung dan Demokrat mendapat untung.

BacaTak Usah Pura-pura Kaget, Gerindra Juga Sepakati Kotak Suara Kardus

BacaSeruan Alumni Mahasiswa Karo Tolak Hoaks dan Politik Identitas

Maka, dirancanglah sebuah skenario serangan yang menohok dua lawan sekaligus: ‘Campur Tangan Penguasa dan serangan efektif kepada PDIP’.

Kader PDIP dituduh sebagai aktor lapangan. Mengapa PDIP? Sentimen kebencian ke PDIP mudah digalang, Demokrat lah yang mendulang belas kasihan.

Lalu, direkrutlah anak-anak muda kurang kewarasan sebagai pelaku kekarasan terhadap baliho dan spanduk sakral milik Partai Demokrat. Sebab dianggap menyerang langsung kehormatan serta kewibawaan para patron yaitu SBY dan ibu Ani.

Namun, mereka lupa bahwa untuk merusak atribut partai lain diperlukan mentalitet kuat dan basis sosial politik yang kuat. Kalau perusakan itu terjadi di kandang banteng, seperti di Bali dan Jawa Tengah (Jateng), maka ini sangat logis karena merasa kuat lalu berani.

Tetapi ini di Riau? Tempat dimana PDIP bukanlah ‘penguasa’, apakah kader PDIP mau bermain kasar? Saat penguasa di kota itu adalah pimpinan Partai Demokrat dan saat yang sama Presiden akan mengikuti acara maha penting?

Maka dicarilah aktor penyerang itu. Siapa? Pasukan terlatih? Siapa yang dikorbankan?

Disinilah skenario sang Maestro berantakan.

Ternyata, sosok yang dijadikan eksekutor adalah pembenci PDIP dan simpatisan salah satu partai koalisi Demokrat.

Dalam rekaman video yang beredar terlihat betapa intimidasi dilakukan sekelompok orang terhadap pelaku, yang sangat terkesan memaksakan pengakuan bahwa sang eksekutor melakukan aksinya atas suruhan supir seorang kader dari partai sasaran, PDIP!

Sebuah pemaksaan yang prematur ini digaungkan ke seluruh penjuru oleh para serdadu Cikeas dan lalu dilanjutkan dengan orkestrasi drama penuh kepiluan dari seorang mantan Presiden dan mantan ibu Negara.

Ajaib! Tindakan perusakan baliho ini ternyata sudah ditunggu di kegelapan oleh segerombolan orang dengan membawa kamera dan aparat keamanan, sekitar pukul 03.00 dini hari. Luar biasa, menghina kecerdasan publik!

Maka, seorang Andi Arief pun berteriak cepat dan lantang. Mengapa bukan Hinca Panjaitan, bukankah dia Sekjen?

BacaImam Masjidil Haram: Tanah Suci Tempat Beribadah, Bukan untuk Slogan Politik

BacaPelapor Dugaan Mahar Politik Penuhi Panggilan Bawaslu

Mengapa Andi begitu cepat terima informasi dan langsung serang PDIP? Mengapa bukan AHY? Mengapa Anie Yudhoyono harus menangis? Mengapa Andi kemudian serang aparat dan merembet langsung ke Jokowi?

Andi yang dinilai pantas menjalankan tugas itu. Dia seorang aktor lapangan dengan imajinasi tinggi akibat sering mengonsumsi barang pencipta sensasi!

Sejarah Politik Playing Victim ala SBY

2004, SBY sukses mainkan drama politik melankolis: jadi korban dan di-dzolimi. Meski kemudian publik bertanya, kalau SBY yang jadi korban, mengapa SBY yang paling getol pengen ketemu Mega?

Bukankah harusnya Mega yang ingin ketemu SBY? Tanpa disadari itulah bahasa batin SBY: Perasaan bersalah.

Harus diingat bahwa pemilu 2019 adalah pertaruhan SBY dan keluarga. Elektoral demokrat turun terus.

BacaDinamika Mahfud MD Jauh Lebih Beradab Daripada Politik Mahar

BacaPDIP: Politik SARA Tidak Laku di Malaysia, Indonesia Tidak Boleh Ketinggalan

Ini bahaya! Bagaimana SBY akan mencalonkan sang pangeran AHY di 2024, jika Demokrat tidak lolos treshold? Ini kiamat politik.

Tahun 2009, SBY pakai jurus lebih kompleks. SBY curhat jadi sasaran tembak teroris. Playing victim lagi. Kedok yang kemudian terbuka, karena SBY lah yang beri angin bagi kelompok intoleran dan radikal.

Periode 2004-2014: Barbarianisme Politik

Mereka dipenjarakan karena dendam politik: Prof Nazaruddin, ketua KPU yang tidak mau diatur, masuk penjara gelap;

Demikian halnya, Rokhmin Dahuri, wakil perguruan tinggi tanpa back-up politik; Jendral Purn Hari Sabarno, jenderal bintang empat dikorbankan untuk taklukkan TNI;

Prof DR Said Aqil Almunawar, Wakil NU dan tokoh agama. Semua masuk penjara, sehingga penyelenggara pemilu, TNI, tokoh agama, perguruan tinggi, takut pada ancaman SBY.

Belum kekejaman pada ‘sang anak haram’ Anas Urbaningrum. Maka, oknum KPK pun dipakai untuk penjarakan Anas (lihat kasus bocoran sprindik Anas Urbaningrum). Bukan hanya itu, politik bansos pun dimainkan.

Hasil Barbarian Politik: Suara Demokrat 2009, naik 300 %.

BacaViral! Rekening Listrik Rumah Fadli Zon Menunggak, Malah Bawa-bawa Politik

BacaKader Hanura Bilang Tingkah Laku Amien Rais Politikus Comberan

Kenaikan yang rapuh penuh dengan hal-hal kotor dalam berbagai operasi politik manipulatif. SBY tanpa sengaja membangun kekuatan politik di tanah lempung, yang kemudian terbukti kekuatan elektoral rekayasa itu amblas pada tahun 2014.

Partai Keluarga Harus Jalan

Siapa tidak mengenal bahwa Demokrat adalah partai keluarga. Andi Arief, Rahlan, Ferdinand Hutahaean hanyalah politisi suruhan keluarga besar. Mereka bukanlah politik berwatak satria; tak paham kekuatan keyakinan, yang mereka paham hanyalah politik sebagai sebuah proyek-proyek berbayar.

Bayangkan SBY, Hadi Utomo, Anie Yudhoyono, Ibas, AHY, Agus Hermanto, Pramono Eddy, Gatot eks Dirut BNI, dan masih banyak lagi.

Demokrat adalah cermin partai keluarga sejati. Semua saudara berlabuh dalam kapal yang sama, dan kapal keluarga Partai Demokrat kini oleng.

Anda bayangkan, siapa yang dipertaruhkan? Nama besar Sarwo Edhie Wibowo. Padahal, Sarwo Edhie dianggap bagian dari penggede politik di masa lalu yang memegang kejujuran, beda dengan menantunya SBY.

Maka, jurus apa yang bisa dimainkan? Reinkarnasi politik victim hanyalah satu-satunya pilihan. Sebuah duplikasi usang, dimana publik semakin hapal dengan keadaan ini. Walaupun harus diakui di masa lalu SBY adalah aktor tanpa tanding untuk tindak seperti ini.

BacaLho, PKPI Menang Peserta Pemilu, Sang Ketum Justru Mundur dari Dunia Politik, Ini Alasannya

BacaTagar #PolitikBeradab Top 3 Trending Topic di Indonesia

Apapun, kesukaan politik rakyat Indonesia adalah berpihak pada korban. Jurus inilah yang diharapkan bawa keajaiban.

Maka, dirancanglah momentum di Riau: tampilan narasi pemerintahan represif, PDIP aktor perusakan, Demokrat korban, SBY bertafakur, dan Anie Yudhoyono klimaks tangisan korban.

Selamat Datang Politik Drama

Namun ada yang salah dalam mengatur klimaks. Bukankah Anie Yudhoyono tidak punya track record menangis atas korban Palu?

Atas korban bom Surabaya? Tangisan Anie hanyalah meratap kekalahan AHY, putra kesayangan. Kemana tangisan Anie atas berbagai bencana alam?

Inilah yang tidak diperhitungkan. Cara eksploitasi SBY dengan langsung ke lapangan; cara menyebar berita pengakuan perusakan. Semua menjadi nyata: betapa nikmatnya menjadi korban politik.

Maka, kita akan melihat, apakah playing the victim (menempatkan dirimu sebagai korban dalam suatu permasalahan, red) kembali jadi jurus mujarab bagi demokrat, ataukah ini semakin menjerumuskan Demokrat karena publik telah melihat cara sandiwara uno yang terlalu sering berulang?

Hanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan rakyat yang tahu.

Apapun tangisan Anie Yudhoyono, buah tangisan dari mata hati, atau sebuah tangisan elektoral, tangisan gimmick politik?

Maka, drama demi drama akan kita saksikan hari-hari mendatang. Hingga hari H tiba.

Selamat datang politik drama. Selamat datang dalam dunia tarian topeng.

Selamat datang dalam dunia Sandiwara Uno dari episode ke episode.

BacaDjarot Bertanya Apa yang Dilakukan SBY di Sumut, Seribuan Kader Beri Jawaban Mengejutkan

BacaErick Thohir: ‘Pengusiran’ Sandiaga di Labusel Sandiwara Ala Sinetron

Berpura puralah menangis, maka kau bisa memenangkan politik, tanpa harus susah blusukan, tanpa harus berkeringat; tanpa bersusah payah menemui rakyat dari pintu ke pintu, tanpa harus memaknai kegelisahan rakyat.

Cukuplah dengan menangis pura-pura dan ciptakan panggung sandiwara, maka rakyat akan iba padamu dan jatuh kasihan lalu berpihak padamu.

Mahesa B Wiratno, 

Pengamat Sosial

Exit mobile version