Memahami ‘Kemarahan’ Namboru Ratna Sarumpaet

Share this:
Tuan Guru Syekh H Ahmad Sabban Rajagukguk

Dari pernikahannya tersebut, ia dikaruniai empat orang anak, yaitu Mohamad Iqbal (1972), Fathom Saulina (1973), Ibrahim (1979) dan Atiqah Hasiholan (1982).

Lelah menjadi objek intimidasi aparat, pada akhir 1997 Ratna memutuskan melakukan perlawanan. Ia menghentikan sementara kegiatannya sebagai seniman dan mengumpulkan 46 LSM dan organisasi-organisasi pro demokrasi di kediamannya, lalu membentuk aliansi bernama Siaga.

Sebagai organisasi pertama yang secara terbuka menyerukan agar Suharto turun, Siaga menjadi salah satu organisasi paling diincar oleh aparat. Menjelang Sidang Umum MPR, Maret 1998, ketika pemerintah mengeluarkan larangan berkumpul bagi lebih dari lima orang, Ratna bersama Siaga justru menggelar sebuah Sidang Rakyat ‘People Summit’ di Ancol.

Pertemuan ini kemudian dikepung oleh aparat dan Ratna, tujuh kawannya dan putrinya (Fathom) ditangkap dan ditahan dengan banyak tuduhan, salah satunya makar.

Sesaat setelah Ratna ditangkap, Edmund William, Atase Politik Amerika di Indonesia waktu itu mengatakan di hadapan para wartawan: “Perempuan ini memberikan nyawanya untuk perubahan. Kualitas pemimpin yang dibutuhkan Indonesia kalau Indonesia betul-betul mau berubah”.

Hal yang sama di saat yang sama juga diucapkan Faisal Basri: “Kita kehilangan seseorang yang mau memasang badannya untuk demokrasi.”

Bersama kawan-kawannya, Ratna kemudian ditahan di Polda Metro Jaya. Sepuluh hari terakhir berada di LP Pondok Bambu, gerakan mahasiswa dan rakyat yang mendesak agar Suharto turun terus memuncak.

LP Pondok Bambu dikawal ketat karena mahasiswa mengancam akan mengepung untuk membebaskan Ratna. Setelah 70 hari dalam kurungan, sehari sebelum Suharto resmi lengser, Ratna dibebaskan.

Setelah Suharto lengser, Ratna Sarumpaet tidak langsung melenggang. Bersama Siaga, 14-16 Agustus 1998, ia menggelar “Dialog Nasional untuk Demokrasi” di Bali Room, Hotel Indonesia, dihadiri sekitar 600 peserta dari seluruh Indonesia.

Forum yang dihadiri semua lapisan ini (aktivis, budayawan, intelektual, seniman dan mahasiswa) merumuskan cetak biru pengelolaan negara RI. Cetak biru itu kemudian diserahkan ke DPR dan pada Habibie, sebagai Presiden saat itu.

Sebagai penggagas dialog nasional untuk demokrasi serta keterlibatannya dalam Peristiwa Semanggi II membuat Ratna kembali mejadi target.

Ia dituduh mengelola gerakan para militer dan dituduh bekerja sama dengan tokoh militer tertentu melakukan pelatihan militer di wilayah Bogor.

Menhankam Pangab waktu itu bahkan secara khusus menggelar petemuan dengan para editor se-Jakarta mempresentasikan dan menekankan betapa berbahayanya Ratna. Oleh kawan-kawannya Ratna kemudian disembunyikan.

Oleh situasi politik yang terus meruncing, November 1998 Ratna akhirnya diungsikan ke Singapura dan selanjutnya ke Eropa.

Lebih lanjut profil Namboru RS dapat diakses di internet. Hemat kita, Namboru RS adalah wanita Batak yang sangat luar biasa dan kebanggaan Indonesia. Salam.

Share this: