Benteng Times

Gubernur adalah Pengabdian, Bukan Lowongan Pekerjaan, Jenderal!

Partoba Pangaribuan

Catatan: Partoba Pangaribuan

MEDAN, BENTENGTRIMES.com – Kita semua tau bahwa setiap prajurit TNI bukan saja harus memahami arti kedaulatan. Tapi lebih dari itu, TNI bahkan menjadi ‘pemeran utama’ dalam menjaga kedaulatan itu sendiri.

Sebagai abdi negara, keutuhan negeri ini harus dijaga termasuk wilayah teritorinya. Kedaulatan bangsa ini harus dipertahankan dalam kemasan nasionalisme yang kuat untuk mewujudkan stabilitas nasional.

Bukankah dalam doktrin TNI bahwa keutuhan bangsa Indonesia ini adalah harga mati yang tak bisa ditawar? Bahkan setiap jengkal tanah di setiap ujung negeri ini pun wajib dipertahankan walau harus meneteskan darah.

Seorang prajurit TNI harus siap ditugaskan di tapal batas manapun di sisi terluar tanah air ini untuk mempertahankan dan menjaga keutuhan tanah air ini secara fisik. Setiap prajurit harus selalu siap siaga kapan saja ditugaskan ke daerah manapun di negeri ini, walau harus meninggalkan keluarga nun jauh di daerah asalnya.

Seorang putra bangsa yang lahir di wilayah paling barat Indonesia sekalipun, seperti Aceh misalnya, harus siap ditugaskan walau jauh ke ujung timur Indonesia, seperti Merauke. Begitu juga sebaliknya.

Jadi, tidak ada alasan apapun untuk menolak tugas negara, apalagi seorang abdi negara. Bahkan warga sipil pun harus siap mengabdi untuk negara jika diperlukan menjadi wajib militer jika bangsa ini sedang terancam dari rongrongan bangsa lain.

Karena dalam undang-undang, hak dan kewajiban setiap warga negara sudah diatur secara konstitusional. Ada kewajiban-kewajiban yang memang harus dilakukan sebagai warga negara. Dan tentunya ada hak-hak yang diberikan oleh negara untuk setiap warga negara. Mulai hak asasi hingga hak politik diatur dalam undang-undang.

Jika seorang prajurit TNI yang seorang putra daerah Aceh wajib dan siap ditugaskan oleh negara untuk bertugas di Merauke. Lalu bagaimana dalam konteks pengelolaan suatu daerah tingkat kabupaten atau provinsi? Apakah hal ini diatur dalam undang-undang?

Misalnya bolehkah putra daerah yang berasal dari Serambi Mekkah (baca: lahir di Aceh) menjadi Gubernur di Sumatera Utara walau tercatat ‘ber-KTP’ (berdomisili) di DKI? Tentu sangat boleh.

Setiap warga negara memiliki hak politik. Tidak ada aturan yang melarang seseorang menjadi kepala daerah di manapun di negeri ini (walau bukan daerah asal usulnya) selama dia dipercaya dan dipilih warganya secara konstitusi melalui pesta demokrasi untuk memimpin dan mengelola daerah tersebut.

Tentunya dengan syarat-syarat atau kriteria yang sudah ditetapkan oleh penyelenggara pesta demokrasi tersebut. Pastinya juga bahwa turunan aturan hingga per sub pasal secara empiris adalah pasal-pasal turunan dari UUD yang ditetapkan oleh para anggota DPR-RI yang dipilih langsung oleh rakyat.

Artinya, aturan itu ditentukan oleh rakyat. Yang artinya juga bahwa menjadi pemerintah atau kepala daerah harus tunduk dan patuh pada rakyat.
Lalu bagaimana dengan warga negara Indonesia keturunan asing? Misalnya warga negara Indonesia berdarah Pakistan, bolehkah menjadi kepala daerah di daerah tertentu di negeri ini? Tentu boleh-boleh saja. Ahok pernah menjadi bupati, wakil gubernur dan menjadi gubernur, juga pernah menjadi anggota DPRD.

Masih banyak contoh nama-nama pejabat publik berketurunan asing. Bahkan dalam catatan ada ratusan warga keturunan asing yang pernah menjabat jabatan politis di seluruh penjuru negeri ini. Mulai dari parlemen tingkat dua hingga nasional, mulai dari eksekutif tingkat dua hingga tingkat satu. Karena konstitusi menjamin hak politik setiap warga negara Indonesia walau berketurunan asing.

Jokowi bukan sedang mencari pekerjaan dari Solo ketika dicalonkan menjadi Gubernur di DKI. Ahok juga, sebagai warga negara Indonesia keturuan Tionghoa, berkampung halaman di Bangka, bukan untuk melamar pekerjaan menjadi wakil gubernur ketika disandingkan bersama Jokowi menjadi pada pilkada DKI tahun 2012 silam.

Demikian juga Djarot yang saat itu menjadi Walikota Blitar, dipilih oleh Ahok menggantikan dirinya sebagai Wakil Gubernur Jakarta juga melalui proses konstitusi di mana saat itu Jokowi harus ‘menanggalkan’ jabatannya sebagai Gubernur Ibukota karena ’di-capres-kan’ oleh PDIP bersama partai-partai koalisinya pada Pilpres 2014.

Artinya, setiap putra daerah manapun adalah putra bangsa, yang berhak mengabdi di daerah manapun di negeri ini, asal melalui proses tatanan demokrasi.

Menjadi seorang kepala daerah bukanlah melalui proses melamar seperti mencari pekerjaan di sebuah perusahaan yang sedang membuka lowongan.

Namun jikapun dianggap sebagai pekerjaan, seorang calon pekerja yang profesional tentunya lebih dibutuhkan adalah yang sudah punya banyak pengalaman di bidangnya daripada yang belum berpengalaman sama sekali atau dalam istilah dunia jobseeker (pencari kerja) masih fresh graduate (baru tamat sekolah).

Lalu jika pun dianggap lagi sebagai kerjaan, tentunya harus dicari seorang calon pekerja keras bukan seorang yang hanya bisa membentak-bentak dengan suara keras.

Kepala desa atau lurah, camat, bupati, gubernur, presiden adalah pengabdian bukan semata-mata sebagai pekerjaan. Pengabidian pada rakyat karena amanah dari rakyat, pengabdian pada bangsa karena amanah dari bangsanya.

Exit mobile version