Benteng Times

Bunuh Saja Messi!

Lionel Andres Messi

Catatan: Pala MD Silaban

RUSIA, BENTENGTIMES.com – Mungkin tak sebanyak Brazil atau Jerman, tapi tak bisa dipungkiri bahwa pendukung Argentina cukup banyak di jagad ini. Jauh sebelum Messi hadir, ketertarikan penggemar sepakbola terhadap Argentina sudah dimulai oleh Mario Kempes atau Diego Armando Maradona.

Sejak itu, hadirlah berbagai bintang dari negara kelahiran tokoh revolusioner Che Guevara ini. Sebut saja Gabriel Batistuta, Riquelme, Juan Sebastian Veron, Ariel Ortega dan sejumlah nama beken lainnya.

Tapi, sejak ‘kerajaan’ Maradona di tahun 1980 pertengahan hingga ‘terguling’ setelah tahun 1990, nama-nama beken tersebut tak mampu meneruskan kejayaan itu. Setiap pagelaran Piala Dunia, baik itu di Amerika Serikat 1994, Prancis 1998, Korea-Jepang 2002, Jerman 2006, Argentina tak mampu bicara banyak.

Tapi, pada rentetan kegagalan itu, tak ada yang bisa dipersalahkan kecuali tim secara menyeluruh. Batistuta dengan kebintangannya tak tersentuh hujatan, begitu juga Veron atau nama-nama lainnya, yang notabene pada masa-masa itu mereka adalah penguasa panggung di klubnya masing-masing.

Ariel Ortega, yang sempat dibanding-bandingkan dengan Maradona, juga tak begitu banyak dicela. Ekspektasi tak begitu tinggi dialamatkan kepadanya. Justru publik yang patut dipersalahkan karena telah begitu ‘berani’ menganggap Ortega sebagai ‘Maradona Baru’.

Tibalah saatnya di Piala Dunia 2010 seorang Lionel Messi hadir menyita perhatian dunia, walau sebenarnya dia sudah tampil di Piala Dunia edisi sebelumnya, tapi saat itu dia masih tergolong ‘anak-anak’ yang belum bisa bicara banyak.

Di turnamen 4 tahunan yang saat itu digelar di Benua Hitam Afrika, Messi sudah menjadi bintang, dengan koleksi gelar yang diraihnya bersama Barcelona. Tahun itu pemain kelahiran Rosario, Santa Fe ini juga sudah mulai matang, sudah berusia 23 tahun. Tapi, kembali Argentina gagal walau kala itu negara mempercayakan kursi kepelatihan kepada legenda yang dulu pernah berkuasa: Diego Armando Maradona.

Di sinilah terjadi situasi berbeda dari Piala Dunia edisi-edisi sebelumnya. Sebelumnya, tim secara keseluruhan yang patut dipersalahkan, tapi saat itu justru kesalahan berada di pundak Messi. Namun, saat itu ‘Si Kutu’ masih beruntung karena tanggung jawab itu masih dibagi dua: dirinya dan Maradona sebagai pelatih.

Maradona yang tak mampu mengulangi kejayaannya pun mundur dengan berani dan tinggallah Lionel Messi sendiri.

Sejak itu, kesepian pun melanda Messi (bila bermain di Timnas Argentina). Apalagi, torehan prestasi di Barcelona terus bertambah, membuat publik semakin yakin bahwa di masa Messi lah kejayaan 1986 silam akan terulang. Harapan bertumpu di pundaknya seorang, tak seperti di tahun 2010, dimana dia masih berbagi dengan Maradona.

Empat tahun kemudian, tepatnya 2014, saat Messi berada di usia keemasan seorang pesepakbola, 27 tahun, dan saat Messi sedang berada di puncak karir, jadilah Argentina sebagai tim terfavorit untuk merengkuh juara, setelah Brazil yang saat itu menjadi tuan rumah.

Memang, tak banyak gol yang tercipta dari kaki Messi, tapi perannya di laga per laga begitu berarti hingga akhirnya Argentina berada di puncak kompetisi: Grand Final Piala Dunia 2014, berhadapan dengan Jerman.

Akhirnya, akan lahir raja baru di Argentina setelah 28 tahun dalam penantian. Dan, Messi lah raja itu. Gemerlap kebintangan Mario Kempes, Maradona, akan sirna digantikan bintang baru: Lionel Andres Messi. Begitulah kira-kira yang akan terjadi.

Tak hanya faktor Messi, tapi faktor sejarah juga jadi alasan yang kuat untuk menyatakan bahwa Argentina akan menjadi juara Piala Dunia 2014, karena tak sekali pun pernah terjadi tim Eropa menjadi juara di tanah Amerika.

Tapi, Goetze mengubur impian itu dalam-dalam. Golnya di babak pertambahan waktu memupus harapan Argentina sekaligus menjadikan Messi menjadi pecundang. Ya, tetap Messi yang dipersalahkan.

Dia bermain baik sepanjang babak penyisihan grup hingga akhirnya melangkah ke final, tapi dia tetap jadi pecundang. Meme-meme bertebaran yang terjemahannya bahwa Messi adalah pecundang. Ya, dimana-mana, di seluruh dunia menyatakan bahwa Messi adalah pecundang.

Di Piala Dunia 2018 ini pun, Messi masih tetap jadi pecundang. Langkah Argentina yang terseok-seok bahkan baru saja kalah oleh keteledoran penjaga gawang dan pemain-pemain bertahan lainnya, tetap Messi yang jadi pecundang.

Dia kemudian dibanding-bandingkan dengan Cristiano Ronaldo, yang menjadi pesaing terkuat Messi dalam perebutan gelar individu.

Lalu, apa salah Messi? Kenapa harus Messi yang jadi korban? Lalu, dibandingkan dengan Ronaldo, yang jelas-jelas bukan perbandingan sepadan karena ekspektasi pecinta sepakbola terhadap keduanya jelas berbeda.

Tentu berbeda. Messi punya pendahulu seorang Maradona yang sudah mengangkat trofi Piala Dunia, yang membuatnya harus memenuhi ekspektasi itu. Lalu, Ronaldo, apakah dia memiliki seorang pendahulu yang pernah mengangkat trofi Piala Dunia?

Seandainya Portugal punya pendahulu seperti Maradona yang mampu menjuarai Piala Dunia, dan saat ini Ronaldo tak mampu mengulanginya, mungkin perlakuan yang sama seperti yang diterima Messi akan didapatkan Ronaldo.

Ronaldo hanya memiliki pendahulu seperti Eusebio yang tak begitu mentereng membawa Portugal menjuarai kompetisi antar negara, seperti Messi yang punya pendahulu yang pernah berjaya, seperti Maradona atau Mario Kempes.

Maka, biarkanlah Messi bermain bola, meliuk-liuk seperti yang dia mau, dan hentikan cemoohan kepadanya bila saja Argentina harus pulang tanpa kemenangan. Anda yang melabeli dia sebagai raja, tapi anda pula yang melabeli dia sebagai pecundang. Dia tak pernah mengklaim seperti apa yang anda nyatakan. Atau, lebih baik bunuh saja Messi. Itu sungguh tak adil baginya.

Exit mobile version