Benteng Times

Buya Syafi’i Maarif: Membangun Islam Indonesia dengan Toleransi

Ahmad Syafi'i Maarif

Oleh: Petrik Matanasi

JAKARTA, BENTENGTIMES.com – Jumlah guru besar di Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)—eks IKIP Negeri Yogyakarta—bisa dihitung jari. Tapi, jurusan pencetak guru sejarah ini boleh bangga dengan mereka punya profesor. Pemuda-pemudi dusun yang berstatus mahasiswa di Karangmalang, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta itu, punya Ahmad Syafi’i Maarif.

Ia seorang doktor lulusan Universitas Chicago dengan disertasi berjudul “Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia” (1983). Selain itu, setelah Reformasi 1998 hingga 2005, dia adalah Ketua Umum PP Muhammadiyah. Sebagian orang kerap menyebutnya dengan Buya Syafi’i.

Jika kereta api dulu punya penumpang gelap, maka kelas yang diampunya, Filsafat Sejarah, juga punya mahasiswa gelap. Mahasiswa gelap ini berasal dari kampus Bulaksumur, tepi barat Karangmalang.

(BACA: Djarot Berkunjung ke Candi Bahal: Indonesia Lahir dari Keberagaman, Mari Kita Rawat!)

Jelang jam mata kuliah Filsafat Sejarah, biasanya seorang mahasiswa kerap dimintai tolong oleh Syafi’i. Si mahasiswa akan mendatangi kedai fotokopi terdekat di Dusun Karangmalang itu, untuk menggandakan sebuah klipingan koran, rubrik “Resonansi” di harian Republika.

Biaya penggandaan pun ditanggung Syafi’i. Jika banyak fenomena dosen yang menyuruh mahasiswa membeli diktat dosennya, Syafi’i tidak rela mahasiswanya terpaku pada diktat. Syafi’i lebih rela merogoh koceknya agar mahasiswa yang ikut kelasnya bisa membaca lembaran hasil penggandaan itu dengan nyaman.

Bila ternyata ada mahasiswa yang belum kebagian, Syafi’i rela merogoh lagi kantongnya. Dia bukan orang pelit. Setidaknya dia bukan orang pelit ilmu dengan rajin menulis di rubrik “Resonansi” Republika, lalu berbagi pemikirannya di kelas. Apa yang ditulisnya pada minggu-minggu itu menjadi bahan yang diajarkannya di kelas Filsafat Sejarah.

Syafi’i bukan tipe dosen yang terpaku pada skor dalam mengevaluasi kuliah mahasiswanya. Syafi’i tak pernah mendikotomikan mahasiswa bodoh atau pintar di kelas Filsafat Sejarahnya. Tak ada pembelajaran yang benar-benar tuntas bagi seseorang, apalagi belajar filsafat dan sejarah.

(BACA: Djarot: Kampanye Harus Dibarengi Membangun Toleransi)

Sebagai akademisi dan intelektual, Syafi’i banyak menulis buku terkait Islam. Seperti Dinamika Islam (1984), Islam, Mengapa Tidak? (1984), Islam dan Masalah Kenegaraan (1985), juga Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah (2009). Dia bahkan pernah meraih penghargaan Ramon Magsaysay pada 2008.

Syafi’i berasal dari Sumpur Kudus, Sawahlunto, Sumatera Barat. Sejak 1953, dia menjalani apa yang dilakukan orang-orang sohor Minangkabau: merantau. Ketika di daerahnya bergolak Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Syafi’i sedang berada di Jawa. Dia ingin sekolah lagi. Padahal kala itu, pelajar dan mahasiswa asal Sumatera banyak yang mendadak pulang, untuk bergabung dalam pasukan PRRI.

Syafi’i, dalam autobiografinya, Titik Kisar Perjalananku: Autobiografi Ahmad Syafi’i Maarif (2009), mengaku, “aku yang semula pro-PRRI, tetapi melihat korban yang begitu banyak, perlu mempertanyakan cara-cara berjuang untuk menekan Jakarta dengan membentuk pemerintah tandingan” (hlm. 143). Kekerasan tidak bisa menjadi kebaikan.

Sementara PRRI gagal di Sumatra, Syafi’i melanjutkan sekolahnya di Solo. Setelahnya dia kuliah di Universitas Cokroaminoto lalu di IKIP Negeri Yogyakarta. Setelah di dua kampus itu, dia belajar di Amerika hingga meraih gelar Doctor of Philosophy (Ph.D). Lebih dari separuh hidupnya memang di sekolah. Selain pernah jadi siswa dan mahasiswa, Syafi’i pernah jadi guru sebelum jadi dosen.

Penganjur Toleransi

Setahun terakhir, Syafi’i dikenal sebagai tokoh lintas agama yang berjuang keras menggalakkan toleransi di Indonesia. Pembelaannya kepada Ahok terkait kasus Al-Maidah 51, bahkan membuatnya dicerca orang-orang anti-Ahok di sosial media. Bahkan ada orang yang mengaku satu suku dengan Syafi’i, selain mengecam juga secara sepihak mencabut gelar Buya yang disandang Syafi’i.

Pernah kepada Antaranews (7/11/2016), Syafi’i, yang membaca secara utuh pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu, menyebut “Ahok tidak mengatakan Al Maidah (ayat 51) itu bohong”. Syafi’i hanya ingin berpikir adil sebagai orang terpelajar, dan juga sebagai orang Islam.

(BACA: Hal Paling Mengesankan Bagi Djarot Tentang Siantar: Toleransi)

Syafi’i sejak lama risih dengan sikap intoleran di Indonesia. Itu bahkan terjadi di kelasnya. Suatu kali, waktu zaman Orde Baru, ada seorang mahasiswa menjelek-jelekkan agama lain. Itu mahasiswa intoleran lalu disemprotnya.

Menurut Syafi’i, toleransi itu penting bagi Indonesia yang majemuk dalam banyak hal. Dalam bukunya, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu, Masa Demokrasi Terpimpin, 1959-1965 (1996), dengan mengacu pada Piagam Madinah, Syafi’i menulis, “Sebuah bangsa dapat mengalami kehancuran bila toleransi sosial, agama dan budaya tidak mantap” (hlm. 154).

Wajah Islam Indonesia hari ini sebagian sisinya tercitra begitu negatif, hingga jauh dari nilai sejatinya sebagai agama damai. Mudah sekali menemukan orang-orang yang mengaku Islam namun perilakunya kasar dan merasa paling suci. Hal-hal baik gagal ditegakkan. Islam Indonesia golongan ini hanya terjebak pada simbol-simbol saja dan menjauh dari esensi.

Membedakan Arab dan Islam

Penyakit umat Islam di Indonesia adalah kerap menyamaratakan antara Islam dengan Arabisme. Syafi’i menyebut, “ada Arabisme yang positif. Yang negatif ya kelompok-kelompok garis keras, ada ISIS, Bokoharam dan sebagainya.”

Banyak orang Islam Indonesia berpendapat, karena Islam itu berasal dari tanah Arab, semua yang ada di Arab Saudi sudah pasti 100 persen Islam. Tak heran jika Islam hanya terlihat seperti parade peci dan baju koko dengan diiringi semangat barbar.

“Agama dipakai tidak untuk mengarahkan pemeluknya kepada hal-hal yang lebih baik. Orang memakai tasbih saja seakan-akan sudah Islam. Ini pembodohan,” kata Syafi’i.

Syafi’i menilai, seperti ditulisnya dalam Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam (2018), “Muslim yang non Arab itu pada umumnya tidak mampu mempelajari ajaran Islam dari sumber aslinya dalam bahasa Arab. Maka kebergantungan rumusan Islam dalam bungkus Arabisme itu tidak dapat dielakkan lagi” (hlm. 65).

Syafi’i melihat ada bahaya besar dalam hal ini. Menurutnya, jika kondisi ini terus terjadi, “sama saja dengan melanggengkan malapetaka dan penderitaan bagi umat ini.”

Masih menurut Syafi’i, hendaknya seorang Muslim di masa kini bisa membedakan antara Arabisme dan Islam. Dengan tingkat pendidikan pendidikan lebih tinggi dan alat komunikasi yang canggih, harusnya itu mungkin.

Di masa Orde Baru, waktu masih ada lembaga prestisius bernama Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), pergesekan antarumat beragama sulit ditemukan. Setelah Orde Baru runtuh, berpuluh tahun setelah Kopkamtib yang tak disukai Syafi’i dibubarkan, maka dengan mudah konflik antaragama meledak.

Karena itu, banyak orang dengan mudah merindukan stabilitas keamanan ala Orde Baru. Mereka tak sadar bahwa toleransi tinggalan Orde Baru itu semu karena bukan dari kesadaran paling dalam. Toleransi ada karena kemauan pemerintah.

Toleransi, menurut Syafi’i, sulit ditegakkan di Indonesia. Tak hanya toleransi, demokrasi juga tidak tumbuh dengan baik. Menurutnya, seperti dituangkan dalam Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah (2009), “Kepentingan politik sempit yang menutup ruang untuk mengembangkan budaya toleransi di kalangan elit. Kemudian di bawah sistem politik otoritarian selama empat dasawarsa (1959-1988), demokrasi telah dibunuh secara sadar” (hlm. 162).

Di usianya yang makin senja, dan dalam segala kegaduhan saat ini, Syafi’i masih menjadi pegiat sekaligus contoh toleransi yang diinginkan itu.

Petrik Matanasi pernah menulis beberapa buku sejarah. Di antaranya: Pemberontak Tak Selalu Salah (2009); Thomas Najoan: Raja Pelarian Dalam Pembuangan (2013) dan Westerling: Kudeta Yang Gagal (2007), yang semula hendak dijadikan skripsi.
Pernah kuliah di kampus pencetak guru sejarah UNY dari 2002 hingga 2009. Sempat menjadi guru sejarah di SMA Sampoerna Academy di Palembang dan Bogor, sambil terus menulis buku sejarah indie.

Exit mobile version