Soeharto Bapak Tenaga Kerja Asing

Share this:
Adian Napitupulu

Catatan Adian Napitupulu

Rillis ini saya tulis untuk Peringatan 20 tahun Reformasi sekaligus menjawab tudingan Fadli Zon kepada Jokowi. Entah Fadli Zon lupa atau pura-pura tidak tahu sejarah saat ini, Fadli Zon mati-matian menuding Jokowi ada di belakang masuknya tenaga kerja asing. Berlagak bagai pahlawan kesiangan, Fadli bahkan mengancam akan mengajukan pansus hak angket terkait Perpres 20 tahun 2018.

Mereka yang berpendidikan dan mengerti sejarah tentu tahu bahwa yang membuka pintu gerbang masuknya tenaga kerja asing yang ada hari ini bukanlah keputusan Jokowi melainkan keputusan yang di ambil oleh mertua Prabowo yaitu Soeharto, yang embrionya sudah didesain sejak tahun 1989 saat Soeharto menyetujui usul Bob Hawke untuk bergabung di APEC.

Pertemuan pertama APEC tahun 1993 diprakarsai oleh Presiden Amerika saat itu, yaitu Bill Clinton dan PM Australia Paul Keating di Pulau Blake.

Setahun kemudian, pertemuan APEC tahun 1994 di Bogor menghasilkan Bogor Goals. Isinya adalah mendorong investasi terbuka Asia Pacifik yang ditargetkan dimulai 16 tahun kemudian, yaitu tahun 2010.

Selanjutnya pada tahun 1995 dibentuklah AFTA (Asean Free Trade Area) dan atas keputusan Soeharto, Indonesia ikut bergabung di dalamnya. AFTA ini kelak di kemudian hari menjadi cikal bakal MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) dengan limitasi waktu pasar bebas dimulai dari tahun 2015.

Pematangan AFTA terus berlanjut hingga KTT ASEAN (tidak resmi) pada bulan Desember 1997 dilanjutkan KTT ASEAN di Hanoi, Vietnam pada bulan Desember 1998, yang menghasilkan Statement Of Bold Measures yang isinya meneguhkan komitmen pelaksanaan AFTA yang dipercepat satu tahun dari 2003 menjadi 2002.

Sebagai upaya lanjutan, di KTT tahun 2001 di Brunei dibentuk lagi CAFTA (China Asean Free Trade Area), yaitu perjanjian perdagangan bebas antara Negara-negara ASEAN dan negara China selama 10 tahun. Pengesahan CAFTA selanjutnya dilakukan pada tahun 2008.

Berangkat dari sejarah panjang lahirnya pasar bebas barang, jasa dan tenaga kerja di Indonesia yang dimulai dari tahun 1989 tersebut di atas, maka sepertinya pantas jika Soeharto diangkat menjadi Bapak Tenaga Kerja Asing.

Di sisi lain, niat Fadli Zon untuk mem-pansus-kan Perpres 20 tahun 2018 tentu tidak tepat. Jika mau di-pansus-kan, maka baiknya yang di-pansus-kan adalah keputusan awal Indonesia bergabung di APEC dan serangkaian hasil keputusan internasional lainnya yang terkait dengan pasar bebas barang, jasa serta tenaga kerja yang semua itu diputuskan sebelum Jokowi menjadi presiden.

Masalah pertama adalah, apakah Fadli Zon punya keberanian untuk mem-pansusangket-kan Soeharto yang notabene adalah mertua Prabowo.

Masalah kedua, apakah bisa DPR mem-pansusangket-kan orang yang sudah meninggal dunia dan tidak lagi bisa dipanggil DPR untuk dimintai keterangan dan penjelasannya?

Masalah ketiga, kenapa Fadli Zon yang diangkat Soeharto menjadi anggota MPR dan dilantik pada tanggal 19 Agustus 1997 tidak menolak pelaksanaan dan keputusan-keputusan Soeharto yang terkait dengan pasar bebas, termasuk menolak hasil KTT ASEAN di Hanoi tahun 1998, padahal MPR saat itu kedudukannya adalah Lembaga Tertinggi Negara yang berada di atas Presiden.

Fadli Zon memang terbukti tidak pernah konsisten. Mulutnya menolak komunisme tapi tangannya mengantar mawar merah ke makam Karl Marx. Mulutnya menolak komunis tapi tangannya merangkul patung Lenin dan menyebut Lenin dengan kata Kamared yang berarti saudara separtai.

Fadli Zon dulu sebagai anggota MPR setuju pasar bebas barang, jasa dan tenaga kerja, tapi sekarang menolak buah dari rangkaian perjanjian pasar bebas yang dibuat di masa Soeharto.

Pilihan Jokowi saat ini hanya dua. Pertama: menolak rangkaian perjanjian internasional pasar bebas yang embrionya sudah didesain 29 tahun lalu dengan konsekuensi Indonesia menjadi lawan dunia internasional, dan mungkin saja terkena aneka macam sanksi apakah embargo atau lainnya.

Pilihan Jokowi yang kedua adalah berupaya memperlambat dan melakukan pengetatan dengan berbagai kebijakan agar ada nafas lebih panjang bagi Indonesia untuk mempersiapkan diri menghadapi pasar bebas barang, jasa dan tenaga kerja, buah dari keputusan Soeharto 29 tahun lalu, salah satunya dilakukan Jokowi dengan mengeluarkan Perpres 20 tahun 2018 yang salah satu substansi isinya mengatur tentang sanksi TKA yang tidak diatur di peraturan sebelumnya.

 

Jakarta 30 April 2018
Adian Napitupulu, Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan dan Sekjen PENA ‘98

Share this: