Benteng Times

10 Tokoh Tempo 2008

Oleh: Abdullah Zuhri Harahap

Tempo memilih sepuluh bupati dan wali kota sebagai Tokoh 2008. Banyak inovasi dan terobosan. Banyak calon pemimpin yang menjanjikan.

Kriteria yang digunakan adalah: pelayanan publik, transparansi, dan keramahan pada dunia usaha – TEMPO mementingkan proses, lebih dari hasil.

Ada begitu banyak pelajaran dari sepuluh tokoh ini. Yang terpenting, Jakarta perlu percaya bahwa daerah bisa mengurus diri sendiri. Banyak tokoh lokal yang ternyata mampu melahirkan terobosan dan inovasi—yang tak muncul pada masa kepala daerah ”diterjunkan” dari atas.

Mereka menolak fenomena klasik birokrasi: korupsi, inefisiensi, bekerja tanpa visi. Sepuluh orang ini menempatkan teladan dan kejujuran di urutan pertama. Mereka percaya, komunikasi yang intens merupakan kunci keberhasilan, bukan komunikasi yang instan. Mereka sabar mendengar rakyat, dan bekerja mencapainya.

Seperti kata Jusuf Serang Kasim, Wali Kota Tarakan, negara kesatuan ini memang harus dibangun dari daerah. Dokter ini pun menyulap Tarakan dari kota sampah menjadi ”Singapura kecil” dalam waktu sepuluh tahun. Sebelum era otonomi, Jusuf mengaku tak ubahnya seorang satpam yang hanya melaksanakan perintah atasan.

Seorang Untung Sarono Wiyono Sukarno dengan kegairahan luar biasa pada teknologi informasi menghubungkan semua desa di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, dengan jaringan Internet. Di tangan pengusaha minyak dan gas itu efisiensi pemerintahan meningkat pesat.

Wali Kota Solo Joko Widodo—yang di daerahnya disapa Jokowi—mendemonstrasikan bagaimana memanusiakan warganya. Ketika harus memindahkan pedagang kaki lima, ia lebih dulu mengundang makan para pelaku sektor informal itu.

Ia tak memilih jalan pintas: mengerahkan aparat atau membakar lokasi. ”Setelah makan, ya, saya suruh pulang lagi,” kata Jokowi. Setelah undangan makan yang ke-54, baru ia yakin pedagang siap dipindahkan. Acara pemindahan meriah, lengkap dengan arak-arakan yang diramaikan pasukan keraton. Para pedagang gembira ria, mereka menyediakan tumpeng sendiri.

Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto mendapat julukan ”Wagiman” alias wali kota gila taman. Tapi ia tak peduli. Ia terus berjalan, membeli lahan-lahan kosong hanya untuk taman. Yogya terasa segar, karena taman bertambah dari 9 menjadi 22 hektare.

Bertahun-tahun Lapangan Karebosi di Makassar menjadi milik para waria pada malam hari. Kemudian datanglah wali kota baru, Ilham Arif Sirajuddin, 43 tahun, yang dengan berani mengubah lapangan itu. Ia yakin, warga Makassar perlu lebih banyak ruang terbuka.

Ia dilawan, didemo, tapi ia tahu bahwa kepentingan publik nomor satu. Lapangan kumuh dan kerap direndam banjir itu akhirnya menjelma menjadi tempat yang megah tanpa kehilangan label sebagai tempat rendezvous penduduk.

Di Blitar, Jawa Timur, Djarot Saiful Hidayat memulai pekerjaan dengan mereformasi birokrasi yang tambun dan lamban. Dengan begitu, ”Anggaran belanja daerah pasti cukup, asal jangan dikorupsi,” kata penerima berbagai penghargaan di tingkat nasional ini.

Ia tak mengganti mobil dinasnya, Toyota Crown tahun 1994, sejak hari pertama menjabat. ”Modal saya hati. Saya ingin warga Blitar maju dan sejahtera,” ujar Djarot, yang sudah dua periode menjabat.

David Bobihoe meruntuhkan pagar rumah dinasnya di Kota Limboto, ibu kota Kabupaten Gorontalo. Pos jaga ia ratakan dengan tanah. Tamu dari mana saja bebas duduk-duduk di teras rumah, tanpa terhadang aturan protokol ketat.

Dia rajin berkeliling daerah, mendengar kemauan orang banyak. Ia sukses mengajak rakyat membangun, menanam jagung, dan mengekspor hasilnya.

Bupati Badung, Bali, Anak Agung Gde Agung, punya masalah berat: ekonomi penduduk timpang. Di daerah selatan, Kuta dan sekitarnya, masyarakat makmur karena pariwisata. Tapi petani di utara miskin.

Sekolah pertanian ia bangun. Agrobisnis dikembangkan. Ia berhasil. Badung sekarang sanggup menyumbangkan sebagian pendapatan untuk enam kabupaten lain di Bali.

Nun jauh di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Bupati Andi Hatta Marakarma menghadapi daerah pemekaran dengan potensi bagus tapi miskin prasarana. Ia membangun desa, termasuk jalan, dan membiarkan kantornya sangat sederhana.

Resepnya jitu. Ekonomi rakyat berkembang. ”Dulu ongkos angkut satu karung gabah Rp 9.000, sekarang hanya Rp 2.000,” kata salah seorang ketua kelompok tani di Luwu.

Bupati Jombang Suyanto mengundang dokter-dokter spesialis berpraktek di puskesmas. Protes datang dari instansi kesehatan karena ia dinilai melecehkan dokter spesialis. Ia jalan terus dan sekarang puskesmas menyandang tingkatan ISO.

Ia juga menggratiskan sekolah sampai sekolah lanjutan atas. ”Pemimpin itu tak perlu cerdas sekali. Yang penting lurus hati, mulai berpikir sampai berbuat,” ujar bupati yang mengaku hanya menghabiskan Rp 40 juta untuk pemilihan kepala daerah itu.

Di antara miskinnya stok pemimpin di tingkat nasional, otonomi daerah terbukti sudah memunculkan talenta-talenta baik, muda, kreatif, dan tahu benar cara memikat hati rakyat. Mereka tidak hanya berasal dari birokrasi, tapi juga datang dari kalangan pengusaha atau pendidik. Mereka lahirkan kejutan yang asyik. Satu yang membanggakan: mereka tidak terkena virus korupsi.

Kami yakin, masih banyak lagi tokoh berprestasi yang luput dari radar kami.Tapi 10 Tokoh Tempo 2008 ini agaknya mewakili satu kenyataan: masih banyak orang yang bekerja dengan hati, untuk Indonesia yang lebih baik.

Exit mobile version