Benteng Times

Foto Bung Karno dan KPU

Bung Karno

Oleh: Anton DH Nugrahanto

Tak ada yang sedemikian kontroversialnya sebuah foto di Indonesia selain foto Bung Karno. Foto-foto Bung Karno adalah sejarah yang hidup, gerak foto itu bahkan melampaui umur Bung Karno sendiri. Tak pelak foto Bung Karno adalah sejarah Indonesia yang menggelegak penuh pesona.

Bung Karno sadar bahwa ia perlu kekuatan untuk menggerakkan massa, karena pergerakan massa adalah bagian dari “jalan idealisme”. Tanpa aksi massa yang bergerak, maka cita-cita politik tak akan efektif berjalan.

Untuk menggerakkan kekuatan massa, maka foto-foto inspiratif harus diserap dalam ingatan public. Dan, Bung Karno memang paham ‘seni di depan kamera’. Dengan satu gerakan saja ia mampu menciptakan gambar kharismatis yang bisa diingat banyak orang.

Pada medio tahun 1920-an ada foto terkenal Bung Karno, dengan lagak seperti Clark Gable, aktor terkenal di tahun 1920-an. Foto itu diambil di tepi jalan Braga, Bandung.

(BACA: KPU: Dilarang Kampanye Pakai Gambar Soekarno, Soeharto, BJ Habibie dan Pendiri NU)

Saat itu Bung Karno memelihara kumis tipis dan rambutnya berjambul, di depannya secangkir kopi tubruk, matanya yang tajam itu memandang ke arah jalan.

Foto ini kerap diingat sebagai “sebuah zaman yang bergerak”. Tahun 1920-an memang dikenal sebagai ‘Zaman Pergerakan’. Dan, pada paruh pertama tahun 1920-an, Bung Karno sedang aktif-aktifnya membangun rumusan pergerakan kaum muda,. Ia menggodok konsepsi arah pergerakan politik, sehingga ia bisa menemukan satu hal: “Persatuan”.

Konsepsi Persatuan adalah konsepsi paling awal dalam pemikiran Sukarno, yang kemudian mempengaruhi anak anak muda seperti M Yamin, Sugondo Djojopuspito, WR Supratman dan banyak lainnya untuk mempersatukan gerakan politik dalam sebuah ikatan bernama “Sumpah Pemuda”.

Di tahun 1930-an, foto yang terkenal adalah foto Bung Karno di depan Pengadilan (Landraad) Kota Bandung, bersama pengacara-pengacaranya. Rakyat mengingat sebuah pidato paling hebat yang membangkitkan kesadaran Indonesia modern tentang kekayaan bangsa ini yang diangkut ke Belanda, dalam pidato Indonesia Menggugat.

Zaman terus melaju. Berbagai peristiwa politik terjadi dan puncaknya adalah Revolusi Kemerdekaan. Di sinilah kemudian Bung Karno menggunakan ‘politik foto’ untuk menjalankan gerakan aksinya.

Bung Karno adalah satu satunya pemimpin yang amat dipercaya rakyat. Ada satu cerita ketika Tan Malaka menanyakan peluang untuk menggantikan Sukarno pada Sutan Sjahrir, dijawab Sutan Sjahrir dengan tangkas “Kalau saja Anda populer 10% dari Sukarno, kami akan mempertimbangkan Anda sebagai presiden.”

Sjahrir saat itu sudah keliling Jawa, dan seluruh rakyat yang dijumpainya menyatakan berada di belakang Bung Karno. Di masa revolusi bersenjata, foto Bung Karno bahkan dijadikan semacam garansi politik bagi pihak-pihak yang bertikai. Sementara di sisi lain, pihak serdadu Belanda malah membawa bawa foto Bung Karno di depan jip mereka. Banyak dari serdadu Belanda yang pulang menjadikan foto Sukarno sebagai buah tangan ‘kenang-kenangan’.

Di tahun 1950-an, Bung Karno menggunakan foto-fotonya sebagai alat “penyadaran geopolitik”, setelah pemikiran panjang di tahun 1952, bahwa sentral isu yang harus dimainkan di Indonesia adalah ‘persoalan geopolitik’.

Saat itu ada dua isu besar yang dibawa Bung Karno ke dunia Internasional. Pertama adalah Perebutan Irian Barat dan kedua adalah Menghantam Neo Kolonialisme dan Imperalisme dalam bentuk Permodalan, baik di Asia Tenggara maupun di wilayah-wilayah lain.

Pada masa itu seluruh adegan-adegan foto Bung Karno menggambarkan bagaimana Bung Karno dekat dengan pemimpin-pemimpin dunia. Bahkan salah satu foto legendarisnya adalah foto kedekatan antara Bung Karno dan JF Kennedy, yang sampai di tahun 1990-an masih jadi foto paling populer di kalangan anak-anak muda.

Foto Bung Karno dengan JF Kennedy ini pula yang sedikit banyak membantu politik diplomasi Indonesia dalam merebut Irian Barat.

Daya kharisma Bung Karno sebagian besar lewat “politik foto” yang tak pernah usang dan selalu aktual. Inilah keajaiban Bung Karno yang tidak dimiliki banyak tokoh lain di dunia. “Fotonya selalu aktual” memenuhi ruang pemikiran di segala zaman.

Foto-foto Bung Karno terus mengikuti zaman dengan segala bentuk dinamikanya. Foto foto itu hadir dalam keberanian sebuah bangsa untuk merdeka. Foto itu hadir dalam kegembiraan rakyat dan tawa tulusnya rakyat. Foto itu hadir dalam kesedihan-kesedihan sejarah, bahkan foto-foto Bung Karno seperti menjaga jiwa di banyak rumah rakyat Indonesia.

Tak ada yang lebih menyedihkan dari nasib foto-foto Bung Karno ketika Orde Baru mulai berkuasa. Foto-foto Bung Karno dicopoti dari ruang publik bahkan sampai pada ruang privat.

Ada semacam kode tak tertulis agar tidak menaruh gambar Bung Karno. Salah satu agenda politik De-Sukarnoisasi adalah memberangus foto-foto Bung Karno di tempat umum. Muncullah kode politik: Sukarno harus dipasangkan dengan Hatta, tidak boleh sendiri.

Rakyat digiring bahwa Sukarno hanya sebatas Proklamasi Kemerdekaan 1945, bukan lagi sebuah idealisme besar Sukarno, yaitu: menjadikan Indonesia sebagai “Mercusuarnya Peradaban Dunia”, karena revolusi Bung Karno jelas menentang penjajahan modal asing. Dimana memang berlawanan dengan Orde Baru, dimana isu kedaulatan modal bukan lagi isu utama.

Karena kenangan Revolusi Sukarnois adalah “Sukarno Yang Sendiri”. Dan, foto-foto Bung Karno seolah lenyap dari ruang, namun tetap terjaga di hati banyak rakyat.

Foto dan lukisan Bung Karno amat terkenal di Indonesia, walaupun saat itu kuat terjadi drama anti Sukarno dimana-mana. Namun banyak dari keluarga keluarga di Indonesia masih memajang gambar Bung Karno, bahkan dalam ukuran besar di ruang tengah keluarga.

Banyak orang Indonesia memandang dengan penuh rasa hormat terhadap orang yang paling bertanggung jawab memerdekakan bangsanya ini.

Di tahun 1986-1987, foto Sukarno yang lama diendapkan dari ruang-ruang public, kemudian muncul kembali. Ribuan anak-anak muda turun ke jalan. Di zaman itu, PDI (Partai Demokrasi Indonesia) menunjukkan kekuatan politiknya, setelah PPP digembosi oleh penguasa.

Munculnya Megawati, putri Bung Karno, menjadikan kampanye sepanjang 1986-1987 sangat bernuansa Sukarno.
Di jalan-jalan Jakarta semuanya merah total. Rakyat turun ke jalan-jalan dengan penuh keberanian. Di Jawa Tengah, ribuan anak-anak muda juga berhamburan ke jalan membawa foto-foto Bung Karno menjadi lambang perlawanan “Kuningisasi Jateng”.

Dulu, seluruh wilayah publik harus dicat warna kuning. Bahkan genteng-genteng bangunan juga diharuskan cat kuning sesuai politik pilihan penguasa. Lalu rakyat melawannya dengan mengusung gambar Bung Karno.

Dan, sejarah kembali diingatkan bahwa dulu kita menjadi bangsa besar di zaman Bung Karno. Seluruh Indonesia di tahun 1986-1987 menggotong-gotong foto Bung Karno dan mengangkatnya penuh kebanggaan.

Foto Bung Karno yang tadinya tersembunyi dan dikagumi secara diam-diam menjadi sebuah gerakan gambar adegan per adegan yang membanggakan hati rakyatnya.

Di kaki-kaki lima banyak pedagang poster menjual foto Bung Karno, sama populernya dengan gambar Duran Duran ataupun The Police. Semua begitu tiba-tiba. Bahkan sampai-sampai seorang pejabat tinggi Orde Baru meminta kampanye dilarang membawa gambar orang. Sebuah rezim yang aneh memang memiliki logika yang aneh.

Foto Bung Karno memiliki kekuatan untuk menggerakkan. Ini yang tidak disadari banyak orang. Ideologi Sukarnois yang berdasarkan pada Gotong Royong, Cinta Tanah Air dan Persatuan Nasional sudah menyatu dalam fotonya.

Saat PDI kubu Megawati diserang oleh kelompok Suryadi atas rekayasa penguasa pada Peristiwa Kudatuli 1996, dimana saat kantor PDI di Diponegoro terkepung, banyak kader berusaha menyelamatkan foto Bung Karno yang akan diberangus. Para kader PDI Pro Mega berkelahi seraya tetap memegang poster Bung Karno. Dalam kesejarahan, foto juga berarti ideologi sebuah partai dan merupakan resapan rasa cinta.

Aturan KPU yang melarang foto Bung Karno jelas harus digugat oleh mereka yang mengusung ajaran Bung Karno. Pada dasarnya pertarungan politik dalam pemilu adalah bentuk penawaran politik kepada rakyat.

Dan, salah satu penawaran politik adalah “hadirnya Bung Karno” dalam situasi kekinian. Aktualisasi Bung Karno berupa pemikiran-pemikirannya, semangatnya dan ingatan kolektif rakyat, adalah bagian dari perjuangan partai yang mengusung secara bertanggung jawab ide-ide Bung Karno dalam cita-citanya.

Politik oleh KPU disederhanakan pada persoalan visi misi, pada persoalan teknis keseharian, pada persoalan manajemen pemerintahan. Padahal politik tidak sesederhana itu. Politik juga soal penjiwaan, soal suasana kebatinan dan soal-soal yang tak bisa dijelaskan dalam pasal per pasal aturan yang beku dan kaku.

Demokrasi adalah alat untuk menyampaikan pesan politik, dan bagi partai yang mendasarkan diri pada pertanggungjawaban melanjutkan cita-cita Bung Karno, seperti dibenturkan ke tembok-tembok ketidakmengertian KPU mengenai suatu daya gerak politik yang menghidupkan.

Dengan menghilangkan gambar Bung Karno, maka pesan teramat pendek “Bung Karno Tetap Hadir” dalam situasi bangsanya, jelas tidak dimengerti pemahaman filosofis politik pengambil keputusan di KPU.

Sehingga keputusan ini harus digugat sampai ke tingkat MA. Karena membredel foto Bung Karno dalam pertarungan pemilu atau pilkada jelas akan menghentikan dan melupakan kenangan emosional Bung Karno yang terus mengobarkan semangat rasa cinta tanah air, gotong royong dan persatuan nasional yang kuat.

Keputusan KPU itu harus dilawan bagi mereka yang bertanggung jawab dan merasa memiliki cita-cita menghidupkan kembali pemikiran Bung Karno dalam bumi-nya Indonesia. Seperti perlawanan anak-anak muda di tahun 1987, berhamburan ke jalan-jalan membawa foto-foto Bung Karno di depan penguasa Orde Baru…

Sebuah keberanian untuk tidak melupakan sejarah bangsanya…

Exit mobile version