Apa yang Terjadi dengan Rupiah?

Share this:
Ilustrasi

Teman-teman sekalian, saya banyak membaca perdebatan-perdebatan di WA grup kita ini mengenai keadaan ekonomi terutama terkait dengan pelemahan Rupiah. Terhadap concern teman-teman, di sini saya ingin memberikan gambaran lebih lengkap mengenai apa yang sedang terjadi kepada Rupiah dan langkah-langkah yang sedang dan akan diambil oleh pemerintah.

Oleh: Luhut B. Pandjaitan

Saya sangat paham mengenai kondisi tersebut, karena kebetulan saya termasuk di dalam tim ekonomi Indonesia yang diantaranya beranggotakan Menko Bidang Perekonomian, Menteri Keuangan, Gubernur BI, dan Ketua OJK. Topik ini sendiri sudah kami bicarakan secara intens sejak 3 minggu yang lalu.

Secara global, recovery pertumbuhan ekonomi dunia yang berjalan baik dalam satu tahun terakhir saat ini sedang terancam oleh trade war yang dipicu oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap mitra dagang utama mereka seperti Tiongkok, Uni Eropa, Meksiko dan Kanada, dengan cara menaikkan tarif impor barang-barang dari negara-negara tersebut.

Negara-negara itu pun mengancam akan membalas balik tindakan Trump. Hal inilah yang menyebabkan kekhawatiran bahwa pertumbuhan ekonomi dunia yang mulai membaik akan melambat atau bahkan resesi.

Tiongkok, yang menjadi target utama trade war dari Trump, telah mendepresiasikan mata uangnya secara signifikan untuk menjaga harga barangnya tetap kompetitif di pasar Amerika Serikat. Dampak depresiasi Yuan terhadap Dolar Amerika, juga memicu depresiasi mata uang negara-negara berkembang lainnya. Hal ini pula yang menjadi salah satu faktor utama depresiasi Rupiah sejak Maret tahun ini.

Selain perang dagang Trump, krisis di beberapa negara berkembang juga memiliki pengaruh terhadap pelemahan Rupiah. Turki adalah salah satunya. Inflasi yang hampir mencapai 18% dan hutang luar negeri yang mencapai 53% dari total GDP menyebabkan tekanan depresiasi terhadap mata uang Lira, yang per 31 Agustus kemarin mencapai 42%. Hal ini kemudian diperburuk oleh rendahnya kredibilitas pemerintah Turki di mata investor akibat intervensi yang dilakukan oleh Erdogan dengan melarang bank sentral untuk menaikkan suku bunga. Padahal inflasi sudah melambung tinggi. Selain itu, Erdogan juga menunjuk menantunya sendiri menjadi menteri keuangannya.

Di samping Turki, Argentina juga mengalami krisis yang cukup parah. Mata uang Peso terdepresiasi sebesar 53% dan tingkat inflasi yg mencapai 28%, memaksa bank sentral mereka untuk menaikkan suku bunga menjadi 60% dan meminta talangan IMF sebesar USD 50 milyar. Selain Turki dan Argentina, negara-negara berkembang lain yang mengalami depresiasi signifikan per 31 Agustus antara lain Afrika Selatan (15.8%), Rusia (15.5%), India (9.9%), Chili (9.3%), Philipina (6.7%), dan Indonesia (7.8%).

(Baca: Kegilaan Rusdi Kirana Terobos Vacuum Cleaner)

Hal inilah yang menjadi salah satu karakteristik negara-negara berkembang, di mana investor internasional menganggap mereka berada dalam satu keranjang yang sama. Jika ada satu dua yang bermasalah, para investor ini cenderung mengambil langkah berjaga-jaga dengan menarik investasi mereka dari seluruh negara berkembang. Akibatnya kurs mata uang akan terdepresiasi bersama-sama.

Share this: