Ini Tentang Orang-orang Kaya Yang Mengaku Hidupnya Makin Sulit

Share this:
BMG
Rhenald Kasali Guru Besar Manajemen Akademisi dan Praktisi Bisnis yang juga Guru Besar Bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Indonesia (UI). Sejumlah buku telah dituliskannya, antara lain: Sembilan Fenomena Bisnis (1997), Change! (2005), Recode Your Change DNA (2007).

Hartanya Naik

Pergunjingan pun beralih ke soal harta. Sebab sewaktu nilai rupiah terdesak, kawan-kawan saya yang merasa susah itu menawarkan asetnya untuk dijual.

Ya rumah, apartemen, tanah, bahkan barang-barang tertentu.

Sama seperti Anda, saya berpikir mereka sedang butuh uang (BU). “Pasti harganya turun.”

Ternyata, mereka berkata lain. “Tidak dong. dollar naik, harga tanah dan bangunan juga naik dong.”

Ternyata mereka tidak sedang BU, tetapi mencari keuntungan juga.

Saya semakin terkesima saat membaca Twitter yang dikirim seorang anak muda tentang besarnya kekayaan calon-calon presiden dan wakil presiden.

Ternyata sama saja.

Besar harta mereka setahun terakhir ini naik fantastis. Tetapi dalam pernyataannya, mereka selalu mengatasnamakan rakyat dan merasa hidup di sini semakin susah. “Rada ngga nyambung,” sergah anak muda yang menulis itu di Twiter.

Ilustrasi kesenjangan antara orang Kaya dan orang miskin.

 

The Empty Raincoat

Hampir 20 tahun lalu, saat dunia mulai mengenal internet, Prof Charles Handy mengajak kita ‘making sense of the future’. Ya, mengendus masa depan.

Ia menyebut fenomena ini sebagai the empty raincoat. Sebuah perasaan yang berbeda dengan realitas yang ada.

Wajar bahwa orang-orang bingung, selalu membuat kebingungan.

Kalau mereka tak kontrol mulutnya dan kebijaksanaan tak datang menemui hari tuanya, maka kesusahan akan menjadi sahabat teman-teman dan bangsanya.

Sesungguhnya, orang yang banyak mengeluh adalah orang yang dikeluhkan teman-temannya.

Ini disindir Handy dalam Paradox of Riches. Tentu orang yang semakin kaya (secara ekonomi) merasa lebih punya kontrol dan maunya lebih dan lebih banyak lagi. Tetapi celakanya, ada semakin banyak harta yang tak bisa dimiliki orang berada pada harga berapa pun.

Ekonom menyebut hal itu sebagai public goods dan untuk menikmatinya kita harus berbagi tempat (sharing space) dengan orang lain.

Anda bisa membeli mobil, tapi jalanannya harus berbagi dengan orang lain. Ketika perekonomian membaik dan daya beli naik, semua orang bisa memilikinya.

(Baca: DPD RI Minta Penguatan Hubungan Ekonomi Sumut dan Jatim)

(Baca: Asyik! Kereta Api Mewah Harga Ekonomi Beroperasi di Medan)

Kini, Anda harus berbagi kemacetan, bahkan ada kalanya tak bisa dipakai karena aturan ganjil-genap. Anda tak bisa membeli kelancaran lalu lintas berapa pun besarnya uang Anda selain berbagi hari dan mau diatur. Udara dan air bersih, lingkungan yang aman, politik yang menenteramkan, masyarakat yang tidak pemarah, dan seterusnya juga sama saja.

Share this: