Ini Tentang Orang-orang Kaya Yang Mengaku Hidupnya Makin Sulit

Share this:
BMG
Rhenald Kasali Guru Besar Manajemen Akademisi dan Praktisi Bisnis yang juga Guru Besar Bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Indonesia (UI). Sejumlah buku telah dituliskannya, antara lain: Sembilan Fenomena Bisnis (1997), Change! (2005), Recode Your Change DNA (2007).

Sambil senyum-senyum saya membaca keluh kesah kawan-kawan saya. Meski hidupnya enak, rumah besar, ada mobil, pesta pernikahan anaknya wah, bahkan ada yang memelihara hewan-hewan mahal, tetapi tak semua merasa makin kaya.

Perhatian saya justru pada teman-teman yang ‘merasa makin miskin.’ Well, tak ada yang mengatakan kini kehidupan jauh lebih enak. Namun, ada konsekuensi dari keinginan kita yang menuntut perubahan, apalagi ini era disrupsi.

Di sisi lain, saat tatanan ekonomi dunia chaos, selalu ada energi besar yang memicu kreativitas, bahkan mencuri kemenangan. Persis seperti tim Indonesia dalam Asian Games 2018 ini. Sometimes you win and sometimes you learn.

Kembali ke kawan-kawan tadi. Dalam WA grup. Sama seperti Anda, kami juga membahas segala ‘kesulitan’.

Tapi belakangan saya sering bertanya, orang kaya, kok merasa hidupnya susah?

 

Suka Mengatasnamakan Rakyat

Akhirnya, saya mulai sungguhan melakukan riset. Persis seperti waktu kuliah S-3. Saya kelompokkan mereka berdasarkan tempat tinggal dan simbol-simbol kekayaan yang mereka pamerkan.

Saya juga menelisik apakah mereka punya ‘calling‘ sosial atau tidak, semisal kontribusi dalam pendidikan, kesehatan, atau pembinaan anak-anak muda yang motifnya bukan kekuasaan atau kelompok identitas, melainkan yang altruistik, dengan ketulusan.

Saya lakukan analytics kata-kata kunci yang sering sekali mereka ucapkan. Memakai semacam big data.

Ternyata kata-kata negatif, benci pada keadaan, justru banyak dikeluarkan oleh mereka yang hidupnya, maaf, kering-kerontang atau yang terbiasa mengedepankan identitas kelompok.

Padahal, sekali lagi, mereka tidak miskin. Sayangnya, mereka juga mudah dihasut kebencian. Padahal, Tuhan sudah pernah memberi kesempatan sebagian mereka untuk berkuasa menjadi pejabat atau pemimpin.

Dan yang lebih menarik lagi, mereka yang merasa hidupnya tambah susah itu, selalu terkait dengan kata ‘rakyat’. Maksud saya, mereka sering sekali mengatasnamakan rakyat. ‘Rakyat hidup semakin sulit’, ‘harga-harga yang harus dibayar rakyat terus melambung’, ‘daya beli turun’. Dan akhirnya ‘Rakyat di desa hidup merana, pekerjaan sulit’.

(Baca: Dolar AS Sempat Tembus Rp14.500, Menko Perekonomian: Tidak Bahaya)

(Baca: Djarot: Perluasan Pelabuhan Peti Kemas di Belawan Momen Bangkitnya Ekonomi Sumut)

Mereka membuat rakyat merasa lebih susah. Padahal, rakyat yang dimaksud itu harus diajarkan keluar dari perangkap kepindahan (the great shifting), supaya usahanya kembali pulih dan ekonomi tumbuh lebih tinggi lagi.

Setiap kali melihat ‘rakyat susah’, mereka ikut susah, tetapi hatinya tak tergerak sama sekali untuk mengulurkan bantuan, selain kata-kata.

Sementara teman-teman saya yang justru berjiwa sosial, tidak sekalipun mengatasnamakan rakyat.

Share this: