Benteng Times

Para Bule yang Cintanya Berlabuh pada Orang Batak

Annette Horschman, yang kini menjadi aktivis lingkungan di kawasan Danau Toba, menikah dengan pria Batak dan dikaruniai 3 anak.

MEDAN, BENTENGTIMES.com – Kebahagiaan yang dirasakan Stefani Tambunan yang dipersunting pria asal Australia, yang belakangan viral di media sosial, membuat warganet jadi ingin merasakan kebahagiaan yang sama.

Memang, menikah dengan orang bule tak jadi jaminan kebahagiaan rumah tangga. Sebab, perbedaan budaya dan cara pikir kerap jadi pertengkaran dalam rumah tangga itu. Namun, keinginan untuk menikah dengan mereka tetap jadi impian orang Indonesia, termasuk orang Batak.

Ada banyak orang bule yang cintanya berlabuh dengan orang Batak. Dan, redaksi menghimpun beberapa pasangan itu, yang merupakan publik figur dan cukup terkenal dengan aktivitasnya masing-masing.

1. Annette Horschman. Bagi wanita ini, tak pernah ada pikiran singgah di Danau Toba ketika dia merencanakan liburan panjang berkeliling dunia setelah tamat sarjana hukum di kotanya, Koln, Jerman.

Kala itu, pertengahan tahun 1993, ia berencana melakukan perjalanan wisata ke India, Thailand, Malaysia dan Indonesia, kemudian ke Selandia Baru dan diakhiri di Amerika Serikat.

(Baca: Viral, Nikahi Boru Batak, Bule Ini Hadirkan Seluruh Keluarga saat Pesta Adat)

“Namun ketika berada di Bali, saya seolah mendengar suara yang memanggil untuk berkunjung ke Danau Toba. Padahal saya baru mendengar nama itu setelah beberapa hari tinggal Bali, pada awal tur dunia saya,” katanya mengenang.

Panggilan itu berdengung berkali-kali, sehingga Bu Anne, panggilannya saat ini, berupaya mengumpulkan berbagai informasi terkait Danau Toba. Setelah dirasa cukup menarik untuk dikunjungi, maka ia pun memulai perjalanan.

Ia memilih perjalanan darat dari Bali menuju Danau Toba. Sempat singgah di Yogyakarta, kemudian di Jakarta dan Bukit Tinggi.

“Di Bukit Tinggi ada seorang pemandu wisata yang mengatakan kepada saya bahwa saya akan menemukan jodoh di Indonesia. Saat itu saya katakan, tidak mungkin,” katanya.

Sebab, dari sisi tinggi badan yang mencapai 170 cm, tidak akan cocok dengan pemuda Indonesia yang umumnya jauh lebih pendek dari dirinya. Dan, ia pun tak hirau dengan kata-kata pemandu wisata tersebut.

Perjalanan dilanjutkan hingga ke Danau Toba. “Dan wah … alamnya begitu indah, danau biru yang sangat luas, begitu mempesona … terasa ada ketenangan jiwa ketika memandangi danau dan menghirup udara segar pantai,” katanya menggambarkan kesan pertama berada di Tuktuk, Pulau Samosir.

Ketika itu, katanya, ia sudah memiliki perasaan akan lama tinggal di daerah itu, karena merasa betah dengan kondisi alamnya. Namun, kembali ia tak menghiraukannya.

Setelah beberapa minggu tinggal di Tuktuk, visa kunjungan wisata habis, maka Annette keluar dari Indonesia, dan terbang ke Penang, Malaysia.

“Selama seminggu di Penang saya tidak sehat. Badan terasa sakit, tak ada gairah untuk bergerak maupun jalan-jalan, maunya tidur,” katanya dengan bahasa Indonesia yang fasih dan lancar.

Setelah mengurus visa, lalu ia memutuskan kembali ke Danau Toba, dan ternyata penyakitnya sembuh, hidupnya bergairah kembali. “Rupanya ada kerinduan ke Danau Toba, dan itu kemudian terobati,” katanya, sambil tersenyum.

Sebelumnya ia sudah berkenalan dengan seorang pemandu wisata di Tuktuk, Antonius Silalahi. Pemuda ini lalu mengajaknya bekerja sama untuk menjalankan bisnis di bidang pariwisata.

“Setelah saya pikir-pikir, kenapa tidak dicoba? Lalu saya terima ajakannya, karena saat itu saya melihat wisatawan mancanegara memadati setiap sudut Tuktuk. Saya pikir ini peluang,” katanya.

Pada periode itu, terjadi lonjakan kunjungan wisatawan mancanegara ke Sumatera Utara dari sekitar 200.000 orang pada 1993 menjadi 265.000 orang pada 1994.

Puncaknya pada tahun 1995 sebesar 300.000 orang, kemudian turun drastis pasca krisis ekonomi di Asia tahun 1997 yang diikuti jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, menjadi sekitar 90.000 orang pada 1999. Pada 2010, kunjungan wisatawan asing belum pulih seperti era 90-an.

Lalu mereka sepakat mendirikan restoran vegetarian pada awal 1994. Silalahi menyediakan lahan dan Annette dengan sisa uang yang dimiliki membangun fisik dan peralatan yang diperlukan. Pilihan restoran vegetarian rupanya cukup tepat. Sejak dibuka, restoran itu banyak pelanggan, terutama dari kalangan tua, karena pada saat itu sedang tren dan banyak wisatawan kakek dan nenek dari Eropa memilih berlibur ke Asia untuk melewati musim dingin.

Usaha restoran berkembang pesat, lalu mereka kemudian memperluas usaha dengan menyediakan roti. Mereka menjalankan bisnis ini secara profesional, walaupun di antara keduanya juga telah terjalin hubungan cinta.

Bagi orang Batak, hubungan cinta tidak bisa dilakukan secara terselubung. Maka mereka mengesahkan hubungan mereka dengan pernikahan menurut adat Batak pada pertengahan tahun 1994.

Untuk memenuhi adat, sebelumnya Annette diangkat menjadi orang Batak dan diberi boru Siallagan, dan namanya menjadi Annette boru Siallagan.

Walaupun kurang setuju, pihak kerabat dan kedua orangtua Annette bisa menerima keputusan putrinya, dan mereka datang dari Jerman menghadiri pesta pernikahan Annette dan Antonius Silalahi. Sementara itu dari pihak pengantin pria, keluarga Silalahi, sangat bangga karena memiliki menantu orang asing.

“Setelah beberapa bulan menikah, saya baru teringat dengan pemandu wisata di Bukit Tinggi itu. Dan apa yang ia katakan sekarang menjadi kenyataan, saya mendapat jodoh orang Batak. Haa… haa… haa..,” katanya terbahak.

Hingga kini, keluarga Silalahi-Annette dikaruniai dua putra dan seorang putri. Putra pertama Marco yang duduk di bangku SMA, yang kedua Julia, duduk di bangku SMP dan si bungsu, Hotto duduk di bangku SD.

“Hidup dan masa depan saya ada di sini. Keluarga saya ada di sini. Saya hidup bahagia bersama suami dan anak-anak,” jawabnya, ketika ditanya apakah ada keinginan untuk kembali ke Jerman suatu saat kelak.

Bahkan, Annette Horschman sangat cinta dengan Toba. Dia konsen terhadap kebersihan Toba, misalnya terhadap hama eceng gondok yang tumbuh di Danau Toba.

2. Warren Conrad. Pria asal Australia ini resmi melepas masa lajangnya setelah mempersunting Marissa Nasution. Pernikahan Marissa dan Conrad berlangsung di Bali, 23 Agustus 2014 lalu. Namun, bahtera rumah tangga Marissa dengan pria keturunan Philipina-Australia ini kandas hanya sebentar saja. Mereka akhirnya berpisah karena berbagai hal.

Warren Conrad ketika masih bersama Marissa Nasution.

Dan, tak lama menjanda, Marissa Nasution kembali menambatkan hatinya, juga dengan seorang pria bule. Dia adalah Ben, pria asal Jerman. Mereka melangsungkan pemberkatan di Jerman pada tanggal 20 September 2017.

3. Mauro Goia. Dia adalah seorang musisi asal Italia. Ia meraih gelar dalam bidang Musik Paduan Suara dan Conductor Paduan Suara hasil studinya di Conservatorium of Music di Turin. Mauro menikahi gadis Batak bernama Mega Sihombing. Wanita ini adalah seorang musisi yang lahir di Tarutung. Ia telah belajar menyanyi sejak usia lima tahun.

Mereka pun kerap terlihat mesra. Memiliki profesi yang sama, sebagai musisi, membuat setiap orang jadi iri ketika melihat ketika mereka berduet tampil di panggung.

Dan, musik jua lah yang mempersatukan cinta mereka. Pertemuan Mega dan Mauro terjadi dalam sebuah tur musik. Mega mengenal Mauro di Surabaya tahun 2004 dan dari sana lah cinta bersemi hingga mereka menikah tahun 2011. “Saya menikah di dua tempat, di Medan dan Italia,” ujar Mega.

Mauro Goia dan Mega Sihombing, pasangan Italia-Indonesia, yang keduanya adalah musisi.

Bahkan, pasangan ini pernah tampil duet yang membuat suasana begitu romatis. Mereka mempersembahkan 15 lagu yang terdiri dari lagu Italia dan lagu tradisional Indonesia.

Mauro mengatakan bahwa lagu ini sengaja diciptakan untuk mengemas perjalanan cinta mereka. Lagu ini berkisah tentang cerita cinta Mega Mauro sejak awal pertemuan di Surabaya hingga menikah.

4. Hermann Delago. Pria ini cukup fenomenal bagi orang Batak. Seorang kebangsaan Austria, yang begitu cinta dengan musik Batak, bahkan ia akhirnya menikahi seorang perempuan Batak bernama Rosdiana.

Awalnya, Hermann Delago berlibur ke Bali pada 1995 silam dan saat itu dia mendengar lagu “Butet” yang dinyanyikan oleh seorang turis.

“Saya dengar orang bule nyanyi lagu Indonesia, saya mau belajar. Saya cari teman di Bali, dia ajari lagu Butet,” kata Hermann.

Menurut musisi kenamaan Austria ini, melodi lagu Batak sangat indah dan mirip musik barat, bahkan lebih berkarakter. Saat kembali ke Austria, Hermann kerap membawakan lagu-lagu Batak dalam konser di sejumlah negara Eropa.

Hermann Delago, pria asal Austria yang begitu cinta dengan lagu Batak, alam Danau Toba dan akhirnya menikahi wanita Batak.

Dengan fasih ia membawakan sendiri lagu-lagu Batak. “Sering nyanyi di kedai tuak. Dengar dari anak Batak, dari situ saya belajar,” ucap Hermann.

Selain menyukai melodi lagu Batak, Hermann mengaku terpesona dengan kemolekan Danau Toba dan Pulau Samosir. Bahkan, ia juga terpikat dan menyunting gadis berdarah Batak sehingga ia ditabalkan bermarga Manik. Sebagai orang yang sudah bermarga Batak, Hermann merasa terpanggil untuk melestarikan lagu-lagu Batak.

Exit mobile version